Menapaki 1000 Anak Tangga Menuju Zaman Prasejarah
Word: Ayu Arman
Gua Sumpang Bita terletak di Kampung Sumpang Bita, Kecamatan Balocci dan masuk dalam areal Taman Nasional Bantimurung, Bulusaraung (TN – BABUL). Sebuah taman yang memiliki ragam keunikan karst, goa-goa prasejarah dengan stalaknit dan stalakmit yang indah, serta beraneka spesies dan warna kupu-kupu.
Oleh Alfred Russel Wallace, Bantimurung dijuluki sebagai The Kingdom of Butterfly. Saya berkesempatan menapaki Gua Sumpang Bita, salah satu gua prasejarah yang ada di Pangkep ini.
Saat memasuki gerbang taman prasejarah Gua Sumpita ini, saya langsung disambut oleh suguhan taman dengan pepohonan yang berwarna hijau, rerumputan yang tertata, taman batu yang tersusun rapi, dan aneka bunga dan kupu-kupu berterbangan ke sana kemari.
saya berjalan kurang lebih 1 kilometer dari taman menuju anak tangga. Karena gua ini terletak di perbukitan kapur pada ketinggian 280 meter dari permukaan laut sehingga saya harus mendaki 1000 anak tangga.
Tentu, menyusuri cela bebatuan hingga ratusan meter membutuhkan tenaga ekstra. Tapi, sepanjang pendakian 1000 anak tangga menuju gua zaman prasejarah ini, saya menikmati hamparan rerumputan hijau, tebing-tebing berlumut yang menjulang tinggi, pepohonan yang berbaris rapi, dan udara sejuk yang semakin membuat perasaan menjadi lebih tenang.
Menapakkan kaki jauh ke dalam gua, saya merasa seperti memasuki lorong purba. Kanan-kiri anak tangga diapit pepohanan besar. Energinya menyegarkan sekaligus menakutkan. Saya merasa sedang berada di tempat yang penuh dengan binatang-binatang.
Di setiap anak tangga yang saya daki, saya menemukan puluhan binatang kaki seribu berserak di sana-sini. Barangkali, lantaran banyaknya binatang kaki seribu, Gua Sumpang Bita ini kerap disebut gua kaki seribu.
Saya sarankan, berkunjung ke sini, jangan seorang diri. Sebab, taman Sumpang Bita ini begitu luas, apalagi status yang disandangnya sebagai situs purbakala. Namun, jangan ragu membingkai momen kemurnian alam dan keanehannya.
Bila lelah, Anda bisa beristirahat pada gazebo kecil yang disediakan pada setiap hitungan tiga ratus anak tangga. Pada tangga yang ke-600, ada kolam air yang sangat jernih dan segar. Menurut pemandu saya, di sekitar pegunungan karst ini terdapat dua sungai yang mengaliri wilayah gua ini, yaitu Mangemba dan Padanglampe.
Perjalanan belum selesai di situ. Beberapa meter ke atas, terlihat papan penunjuk arah menuju Gua Bulu Sumi, dan saya pun melanjutkan pendakian. Akhirnya, sampailah saya pada ketinggian 200 meter, tempat Gua Bulu Sumi berada. Sayangnya, gua ini tak bisa saya jelajahi karena bentuknya yang curam dan vertikal. Juga diperlukan penerangan seperti handlamp karena gelap-gulita.
Menurut data arkeologi, gua ini memiliki lebar 4 meter dengan kedalamam 8,77 meter. Bulu Sumi termasuk gua tipe kekar lembaran dengan bentuk horisontal, permukaan lantai gua relatif datar di bagian depan dengan struktur tanah yang halus.
Dalam gua ini, Anda bisa melihat 8 lukisan cap tangan merah, alat litik, tembikar, artefak batu, fragmen gerabah, dan cangkang moluska. Artefak dan benda-benda prasejarah itu tersebar di lantai gua. Selain itu, tampak pula cangkang-cangkang kerang sisa makanan yang menempel di tanah dan stalakmit.
Konon, gua ini merupakan dapur bagi manusia zaman purba yang menghuni tempat ini. Masyarakat setempat menyebutnya Toala. “To” artinya manusia, sementara “ala” berarti hutan. Jadi, Toala berarti manusia hutan. Keberadaan gua ini berhubungan dengan Gua Sumpang yang terletak di atasnya yang konon menjadi kamar ritual masyarakat Toala.
Saya pun melanjutkan pendakian sampai akhir dari jumlah tangga yang ke-1000, pada ketinggian 280 meter. Persis di depannya terdapat bongkahan batu besar dan tinggi yang merupakan mulut gua Sumpang Bita ini.
Ayo, mari masuk.
Gua ini memiliki kedalaman ruang sekitar 24 meter dengan tinggi lebih kurang 12 meter. Langit-langitnya yang tinggi melandai ke belakang. Di ruangan gua, Anda bisa menyaksikan proses bagaimana stagmit dan stalagtit terbentuk sebagai akibat dari perembesan air dan proses travertine. Pada dinding-dindingnya terlihat sebaran ragam lukisan dinding (rock art).
Tercatat oleh saya, pada ruang bagian utara, terdapat sebuah lukisan berupa babi rusa yang sedang meloncat. Di hampir setiap sudut dindingnya dipenuhi lukisan cap tangan dan kaki. Terhitung ada 25 buah lukisan cap tangan yang terlihat. Juga ada lukisan sampan, perahu, dan coretan-coretan merah yang tak teridentifikasi lagi. Dalam catatan arkeologi, selain lukisan dinding, di gua ini juga ditemukan tulang dan gigi manusia, kulit kerang, fragmen gerabah polos, dan perhiasan geometris.
Tentu, keberadaan aneka lukisan cadas dan benda-benda dalam gua ini menjadi bukti dan pernyataan yang diberikan alam bahwa pada masa yang jauh pernah ada kehidupan manusia. Karena gua prasejarah merupakan salah satu data arkeologi yang sampai sekarang dapat dijumpai pada sejumlah situs gua di dunia, terutama di wilayah yang dahulu pernah dihuni manusia purba.
Salah satu jenis manusia purba yang mengawali kehidupan di gua adalah manusia Neanderthal yang muncul di Eropa lebih kurang 100 ribu tahun silam. Gambar gua ini kemudian berkembang pada kira-kira 4 ribu tahun yang lalu dengan munculnya manusia Cro-Magnon di Eropa, khususnya di Prancis dan Spanyol. Jenis manusia ini dianggap sebagai manusia seniman pertama di dunia sebab memiliki kemampuan untuk mengekspresikan rasa seninya melalui bentuk gambar, goresan, dan pahatan yang diterakan pada dinding gua.
Di Indonesia, hasil budaya berupa gambar gua dijumpai di Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimatan, dan Sulawesi. Keberadaan gambar gua di Indonesia pertama kali dilaporkan J. van Olderborgh pada 1882. Olderborgh melaporkan soal gambar gua di Teluk Berau, Papua. Penelitian ini kemudian diikuti laporan dari D. F. van Braam Moris tahun 1884 dan E. Metze tahun 1885. Namun, laporan temuan lukisan pada gua di daerah ini baru ditulis J. Roderyang mengikuti ekspedisi Frobenius tahun 1937-938 dan diterbitkan pada tahun 1959.
Khusus penelitian gambar gua di Sulawesi, dilakukan pertama kali dua bersaudara Paul dan Fritz Sarasin tahun 1902-1093 di Sulawesi selatan. Lalu, pencatatan diikuti P. V. van Stein Callenfels tahun 1933, C.H. M. Heern-Palm dan H.R. van Heekeren tahun 1950, C.J.H Franssen tahun 1958, Mulvane tahun 1970, dan R. P. Soejono tahun 1977.
Penelitian juga dilakukan di Sulawesi Tenggara oleh E. A. Kosasih sejak 1978. Penelitian ini kemudian dilanjutkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1991, 1994, 1995, dan 1996. Berdasarkan penelitian mereka, diketahui gambar gua di Indonesia masih tergolong muda kecuali gambar gua-gua di Sulawesi Selatan, khususnya gua di wilayah Maros dan Pangkep. Gambar gua di kawasan ini dinilai sebagai gambar tertua di Indonesia berdasarkan penanggalan C-14 yang berasal dari 10.500 hingga 5.000 tahun lalu.
Obyek gambar yang paling banyak dijumpai di gua-gua di wilayah Maros dan Pangkep adalah gambar atau lukisan telapak tangan. Gambar yang dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan di dinding gua kemudian jari tangan ditaburi atau disemprot dengan cairan tertentu. Bahan taburan atau semprotan serupa cat itu mewarnai sekitar telapak tangan.
Gambar telapak tangan ini disebut cap tangan negatif. Sebaliknya, gambar telapak tangan yang dibuat dengan teknik membubuhkan cat pada telapak tangan yang kemudian ditempelkan di dinding gua disebut gambar telapak tangan positif.
Ada lebih kurang 326 lukisan gambar tangan yang tersebar di 12 gua di Pangkep dengan gambar telapak tangan yang berbeda-beda. Dari 12 gua yang dianalisis, gambar telapak tangan yang terbanyak terdapat diGua Sumpang Bita, yaitu 81 gambar. Disusul kemudian Garunggung 48 gambar, Cumi Lantang 47 gambar, Camingkana 36 gambar, Saluka 33 gambar, Sakapoa 24 gambar, Sassang 15 gambar, Pattenungan 12 gambar, Batang Lamara 10 gambar, Bulu Sumi 9 gambar, Kassi 9 gambar, dan Lampoa 2 gambar.
Adam Brumm, arkeolog dari Pusat Ilmu Arkeologi Universitas Wollongong, Australia, berpendapat bahwa lukisan-lukisan cap tangan dengan latar belakang berwarna merah dengan jari yang lengkap dan ada yang tak lengkap di gua-gua di wilayah Maros-Pangkep, menggambarkan peradaban manusia modern awal yang menghuni daratan Sulawesi sudah mengenal seni batu cadas seperti di Eropa.
Usia lukisan tangan pada gua di dua wilayah ini diperkirakan satu zaman dengan kemunculan ras Austromelanesoid di daratan Eropa, yang juga ditandai dengan jejak lukisan gua.
Dr. Maxime Aubert dari Universitas Griffith di Queensland, Australia, menyatakan kalau salah satu dari lukisan gua yang ada di Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan, memiliki usia minimal 39.900 tahun. Ia lebih tua dari lukisan gua yang ada di Eropa yang diperkirakan berusia 30 hingga 35 ribu tahun.
Penemuan itu menunjukkan leluhur Indonesia sudah menggambar sejak 40 ribu tahun silam. Rock art, atau bisa juga disebut cave art, merupakan salah satu bentuk pemikiran abstrak manusia pada masa lalu. Mereka mengekspresikan apa yang ada di dalam pikiran mereka ke dalam bentuk lukisan. Besar kemungkinan rock art telah muncul dan berkembang ketika manusia modern awal menyebar dari Afrika ke Eropa dan Asia Tenggara.
Oleh karena itu, Gua Sumpang Bita dan Bulu Sumi hanya salah satu dari gua-gua prasejarah di daratan Pangkep yang memberi bukti adanya rangkaian kehidupan masa lampau dari mana kehidupan terkini berasal. Gua-gua prasejarah ini sangat penting dalam sejarah perkembangan budaya manusia, tidak hanya untuk orang-orang yang tinggal di Sulawesi Selatan, tetapi juga bagi seluruh umat manusia.