Word: Ayu Arman
Sausapor, 2011.Di sinilah titik awal kepemimpinan saya dimulai. Saya sesungguhnya tidak meletakkan kursi bupati sebagai cita-cita. Cita-cita autentik saya adalah bagaimana otot dan pikiran saya bisa maksimal membangun tanah kelahiran saya, tanah tumpah darah saya. Daerah yang masih gelap menjadi sebuah daerah yang terang dan bisa menghidupkan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Keinginan terdalam itulah akhirnya mengantarkan saya menduduki jabatan kepala daerah Kabupaten Tambrauw dua periode, dari 2011 hingga 2022. Lalu, dari mana saya memulai membangun Tambrauw, daerah yang memiliki kondisi geografis tersulit nomor dua di Papua Barat setelah Pegunungan Arfak?
Saya memulai membangun Tambrauw dari menata diri saya dalam memimpin. Sangat penting untuk menjadi pintar dan pekerja keras. Namun, jauh lebih penting lagi menjadi bijaksana. Apalagi menjadi seorang pemimpin daerah. Ia harus memiliki kedewasaan berpolitik. Sebab, pemimpin yang tak punya kedewasaan berpolitik justru menghambat kemajuan daerahnya.
Saya mengatakan ini bukan untuk menggurui. Saya belajar dari pengalaman dan ingin membagikannya di sini. Saya melihat daerah-daerah yang dipimpin oleh pemimpin yang memiliki dendam politik, pembangunannya kalau tidak jalan di tempat, biasanya merosot, mengalami kemunduran. Bagi saya, kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang berkesinambungan sehingga program pembangunan memiliki nilai manfaat berkelanjutan bagi masyarakatnya.
Oleh karena itu, ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan saya dan Yohanes Yembra ditetapkan sebagai bupati dan wakil bupati terpilih Kabupaten Tambrauw periode 2011—2016, saat itu pula pertandingan politik antara saya dengan orang-orang yang berseberangan politik dengan saya usai. Ya, begitu pilkada selesai, segala urusan politik harus segera saya akhiri. Tidak boleh ada dendam politik di sana. Karena itu, saya merangkul semua orang dari segala kalangan dan lapisan. Tak ada satu pun kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan para pegawai yang berseberangan politik, saya pecat atau mutasi.
Saya tahu loyalitas kepada pimpinan adalah hal yang utama bagi seorang seorang ASN. Saat itu, kamu tidak salah. Kamu patuh dengan pimpinanmu. Karena itu, saya tidak ingin kamu mengundurkan diri. Saat ini, saya membutuhkan keahlianmu. Saya tidak akan bisa bekerja tanpa kalian semua. Tambrauw ini membutuhkan orang-orang yang serius bekerja.
Bagi saya, dalam menjalankan roda pemerintahan tidak boleh ada urusan dengan politik lagi. Semua harus mengedepankan kinerja pemerintahan. Apalagi, membangun di daerah baru yang memiliki kondisi geografis sulit dengan statistik kelayakan hidup di bawah rata-rata. Ini kerja yang tidak mudah. Itu membutuhkan tim kerja yang kuat. Membutuhkan kerja sama yang baik antara pemimpin dan bawahan. Membutuhkan tekad, fisik yang kuat, orang-orang kapabel, juga sokongan anggaran yang besar. Saya tidak peduli dari mana asal mereka. Yang terpenting, mereka memiliki kemampuan dan keahlian yang profesional pada bidangnya masing-masing. Sehingga, roda pemerintahan bisa segera dijalankan untuk mengejar ketertinggalan.
Oleh karena itu, hal pertama yang saya lakukan adalah membentuk tim kerja yang kuat meski dengan segala keterbatasan dan kekurangan bahkan minus di berbagai bidang. Segala kekurangan, segala keterbatasan, dan segala kesulitan itu bukanlah halangan yang harus saya keluhkan. Sebab, semenjak kecil saya telah tumbuh dan besar di tengah masyarakat Tambrauw yang serba berkekurangan. Segala keterbatasan dan kekurangan itulah yang menjadi semangat saya berjuang untuk membangun. Bukankah tujuan pemekaran ini memang untuk perubahan masyarakat Tambrauw? Sehingga, ketiadaan sarana dan prasarana itu saya anggap sebagai panggilan hidup saya untuk mengabdi dan melayani pada tanah kelahiran saya.
Oleh karena itu, menjadi bupati Tambrauw selama dua periode itu bukan berarti saya hidup enak-enakan. Tidak. Saya harus siap menderita untuk mewujudkan mimpi besar Tambrauw itu. Apa pun halangan dan tantangannya, saya harus hadapi dan selesaikan. Seluruh pegawai Tambrauw pun merasakan penderitaan di awal pemerintahan bahkan hingga satu dekade terakhir ini.
Saya memulai roda pemerintahan dari titik minus.
Saat Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Papua Barat memerintahkan kepada kami segera menggelar pelantikan atas terpilihnya saya dan Yohanes Yembra sebagai bupati definitif 2011—2016, saat itu pemerintah Tambrauw sesungguhnya belum memiliki anggaran. Sementara, pelantikan segera digelar. Sebab, meski SK Mendagri sudah ada, tetapi jika belum dilantik, kami tidak bisa menjalankan roda pemerintahan karena masa bertugas kepala daerah terhitung dari pelantikan. Saya akhirnya mendapatkan pinjaman dari Bapak Budi, Kepala PT Intan Pariwara, Sorong. Uang itulah yang kami gunakan untuk menggelar acara pelantikan kepemimpinan kami.
Pada 29 Oktober 2011, kami akhirnya dilantik penjabat gubernur Papua Barat, yaitu Bapak Mayjen Tanribali Lamo di kompleks SD Inti Sausapor. Upacara itu dihadiri seluruh ketua adat, masyarakat sekitar Sausapor, dan para pegawai. Saat itu, ada lebih kurang 273 pegawai yang diperbantukan dari Sorong.
Salah seorang perwakilan ketua adat LMA menitipkan pesan kepada kami: “Perjuangan membentuk Kabupaten Tambrauw ini sangat panjang. Perjuangannya berliku-liku. Karena itu, siapa pun ditugaskan menjadi pemimpin, harus urus rakyat dengan baik. Di Tambrauw tidak ada perbedaan. Tambrauw adalah milik semua rakyat. Semua masyarakat Tambrauw harus bersatu untuk membangun daerah ini maju dan sejahtera.”
Kami terima mandat dan amanah itu dengan sepenuh hati. Kami menyadari bahwa tugas kami sebagai seorang pemimpin pertama di kabupaten baru Tambrauw ini adalah membabat alas untuk ditata menjadi sebuah kota dan mensejahterakan masyarakatnya.
Usai pelantikan itu, esoknya, saya langsung menggelar pertemuan dengan semua perangkat daerah di kompleks SD Inti Sausapor yang kami sepakati sebagai pusat pemerintahan sementara. Saya juga meminta kepada seluruh pegawai untuk pindah berkantor di Sausapor. Tidak ada lagi yang berkantor di Sorong meski pada saat itu Sausapor masih berupa kampung kecil di pinggir pantai.
Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, pada 1942, Sausapor sesungguhnya pernah menjadi daerah yang ramai karena menjadi tempat pangkalan militer Sekutu saat pecah perang dunia kedua dengan pasukan Jepang. Namun, setelah perang usai, daratan ini tak terjamah lagi. Sepi dan gelap. Satu-satunya akses menuju Sausapor hanya dari laut. Itu pun pada bulan-bulan tertentu saja. Sebab, bila angin utara datang dari September hingga Desember, ombaknya sangat ganas.
Ada dua kapal perintis kecil yang saat itu beroperasi menuju ke Sausapor. Kapal Geovani dan Kasuari. Namun, waktu keberangkatan dua kapal itu tidak menentu. Kadang satu minggu sekali atau dua minggu sekali. Sehingga, kehadiran kapal ini selalu dinanti dan selalu penuh. Para pegawai saling berdesakan dengan warga lain. Jika dalam perjalanan bertemu ombak besar, wajah dan baju kami basah kuyup semua.
Jika kami mempunyai kepentingan ke Sausapor atau Sorong yang jadwalnya tidak sesuai dengan jadwal kapal perintis itu, kami harus menyewa longboard. Ongkosnya mahal. Sekali jalan 3 juta. Atau, kami biasanya menumpang perahu. Kami menunggu di pinggir pantai. Kami biasanya menumpang sampai Makbon. Dari Makbon kami naik longboard sampai Sausapor.
Turun dari dermaga Sausapor, kami masih berjalan sekitar dua kilometer untuk menuju kompleks SD Inti. Tidak ada ojek atau bus jemputan. Bahkan, jalan pun tidak ada. Hanya jalan setapak kecil. Sehingga, kami berjalan seperti mencari jejak, menembus semak liar yang tinggi.
SD Inti ini dibangun pada masa Bupati John Piet Wanane yang mulanya untuk sekolah berpola asrama. Namun, sekolah asrama yang direncanakan itu tidak berjalan. Sehingga, kami menggunakannya sebagai kantor pemerintahan dan sekaligus sebagai tempat tinggal sementara sebagian pegawai.
Di sanalah seluruh kegiatan pemerintahan Tambrauw bermula. Satu lagi, tidak ada listrik. Genset pun tidak ada. Penerang kami hanya dari lilin-lilin yang kami bawa dari Sorong. Kami tidur melantai bersama. Air bersih dan kamar mandi pun tidak ada. Pada pagi hari, saya dan seluruh pegawai berlari menuju Sungai Kalijodo untuk mandi ramai-ramai.
Pasar dan warung pun tidak ada. Hanya ada satu kios kecil di pinggir pantai. Praktis, makanan kita hanya berbekal dari Sorong. Kita kadang bertahan dengan makan ikan garam saja. Masyarakat yang menangkap ikan masih sangat terbatas. Mereka mengambil ikan untuk sekadar kebutuhan keluarga. Boleh dibilang, hidup dan bekerja dari perkantoran SD Inti itu luar biasa sulitnya.
Itulah gambaran besar kondisi awal pemerintahan kami. Dari belantara hutan, ratusan sungai, perbukitan pegunungan dan laut. Hampir 90 persen daerah Tambrauw belum memiliki akses jalan darat. Jalan hanya berupa tapak-tapak kecil dari tanah liat untuk memasuki perkampungan di pinggir-pinggir hutan. Adaptasi pembangunan memang masih sangat rendah. Isolasi wilayah sangat tinggi. Terjadi kesenjangan antar wilayah. Kualitas layanan pendidikan dan kesehatan juga masih rendah. Sehingga kami memiliki 1001 pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan. Kami harus bekerja dengan berlari dan melakukan lompatan besar untuk mengejar ketertinggalan daerah kami. Ya, segala hambatan itu harus saya selesaikan segera.
Bagaimana, nantikan cerita keindahan alam Tambrauw di part berikutnya.