Mata saya menumpahkan air haru bukan lantaran melihat pemandangan alam gunung yang megah. Juga bukan lantaran ketakutan karena sang pilot membawa pesawat perintis menyelip pada lekukan gunung-raksasa itu.
Word: Ayu Arman
Haru meluap saat melihat hamparan kabut putih menyelimuti barisan gunung yang saling mengikat dan menguatkan. Serupa gelombang karpet hijau raksasa, gunung-gunung itu menghampar di sisi jendela pesawat Airfast yang membawa saya menuju Ilaga—ibukota kabupaten Puncak Papua. Saya memasuki Ilaga dan perkampungannya di ketinggian dari mega-mega pada tahun 2017.
Mata saya menumpahkan air haru bukan lantaran melihat pemandangan alam gunung yang megah. Juga bukan lantaran ketakutan karena sang pilot membawa pesawat perintis menyelip pada lekukan gunung-raksasa itu. Mata saya sembab lantaran rekaman memori dari beberapa masyarakat pegunungan Puncak Papua yang saya wawancarai berkelebat dalam layar pikiran.
Salah satu narasumber yang saya wawancarai itu adalah Willem Wandik–Bupati Kabupaten Puncak Papua. Ia bercerita bahwa sebelum daerah Ilaga dan sekitarnya dimekarkan menjadi kabupaten otonom pada tahun 2008, penduduk pegunungan Puncak Papua harus berjalan kaki menembus belantara hutan, menaiki dan menuruni gunung-gunung selama berminggu-minggu bahkan bulan tanpa alas kaki dengan menahan hawa dingin untuk menuju satu kampung ke kampung, dari satu distrik ke distrik, dan ke kota kabupaten lain seperti Wamena, Nabire, dan Timika. Mereka berpuluh-puluh hidup di celah gunung, lembah, jurang terjal, serta tepi sungai dengan sandang-pangan seadanya.
Ilaga terletak pada ketinggian 2.309 Mdpl di atas permukaan laut dan merupakan hunian tertinggi di Indonesia. Ia dibentengi rimba raya dengan ragam hayati dan dikuatkan delapan pasak gunung. Di antaranya adalah Gunung Cartensz bersalju es abadi—salah satu idaman para pendaki dunia karena termasuk The Seven Summit. Gunung Garsbeng berisi emas, Gunung Kelabo, Gunung Gergaji, Gunung Jawubuk, Gunung Meja, Gunung Jeloa.
Setiap gunungnya menyimpan daya magnet energi dan misteri alam yang belum teraba. Gunung Meja misalnya, memiliki sumber mata air yang mengaliri wilayah Papua bagian tengah. Di atasnya terdapat kolam mata air yang diyakini menjadi penawar ragam penyakit. Perut Gunung Kelabo dan Jawubuk juga dipercaya mengandung tembaga dan emas seperti Gunung Garsbeng.
Seharusnya tak ada sedikit pun celah yang sulit bagi penduduk yang tinggal di atas puncak gunung ini. Jika mereka lapar, tanah mereka memberi segala makanan. Buah-buahan dan sayuran melimpah. Jika mereka haus, mata air memberi minuman berkelas. Jika mereka sakit, apotek alam tersedia. Seperti daun gatal yang ditunjukkan Kepala Suku Damal kepada saya yang jika sekali teguk satu bulir daun kecil itu seluruh penyakit gatal menghilang.
Sayangnya, kenyataan menjadi berkata lain. Penduduk yang tinggal di bawah delapan kaki pegunungan Ilaga ini tetap bergantung pada dunia luar untuk pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Tak ada akses pintu masuk-keluar untuk menembus daerah ini. Sehingga kehidupan mereka menjadi luar biasa sulitnya. Satu-satunya moda transportasi yang bisa menembusnya hanyalah pesawat. Itu pun hanya pada pukul 6 hingga 11 siang. Itu pun hanya tiga celah gunung yang bisa dilewati, yaitu celah Jelapass, Ilaga pass, dan U pass. Itupun jika cuaca bagus. Jika tidak, daerah ini akan menutup diri. Kabut tebal segera menyelimutinya. Gelap. Sehingga memasuki Ilaga seperti memasuki dimensi waktu dan ruang tersendiri. Segalanya tak terduga. Cuaca kerap tak bisa diprediksi oleh hitung-hitungan normatif sains. Segalanya harus tunduk pada aturan alam.
Tertutupnya daerah ini membuat penduduk mengalami kesulitan akses informasi; kesulitan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesulitan ekonomi dan membuat segala kebutuhan bahan hidup menjadi super mahal. Di sini, sebungkus mi instan Rp10.000, dan sebutir telur Rp10.000. Air mineral 600 milimeter Rp25.000. Lauk-pauk, ayam atau ikan, harus ditebus seharga Rp90.000 per kilogram. Sementara itu cabai dihargai Rp150.000 per kilo, dan minyak goreng Rp60.000 per liter. Bensin di Ilaga berkisar Rp50.000 hingga Rp60.000 per liter. Harga semen per sak mencapai Rp2,5 juta. Sementara kayu dihargai Rp8,5 juta per m3. Tingginya harga barang-barang, menyebabkan kebutuhan dasar seperti infrastruktur, telekomunikasi, kesehatan, dan pendidikan pun minim.
Itulah alasan beberapa tokoh dan sebagian masyarakat Ilaga menginginkan pemekaran sejak lama. Wacana pemekaran Ilaga sudah menjadi memori kolektif yang terus-menerus dikisahkan secara lisan dari orang tua ke generasi dini mereka. Seperti ketika Kabupaten Paniai dimekarkan dari Kabupaten Puncak Jaya (1996), Ilaga pernah dipersiapkan untuk menjadi ibu kota Kabupaten Puncak Jaya. Karena Ilaga sejak masa Hindia Belanda pernah menjadi pusat pemerintahan di wilayah Pegunungan Tengah yang membawahi Mulia, Beoga, dan Sinak, dan sekaligus menjadi basis bagi pengembangan pelayanan gereja di seantero Pegunungan Tengah. Ilaga juga kawasan berbatasan langsung dengan Mimika yang sudah dihubungkan melalui jalan setapak yang digunakan masyarakat untuk mengadu nasib ke kota.
Oleh karena itu, ketika beberapa tokoh dan masyarakat Ilaga memperjuangkan pemekaran kabupaten otonom, tak ada satupun suara yang menentang gagasan pemekaran, baik di lingkungan mahasiswa asal Puncak Jaya yang ada di Jawa, tokoh-tokoh di Jayapura, hingga masyarakat Papua dan luar Papua yang tinggal di calon Kabupaten Puncak ini. Seluruh masyarakat di semua tingkat usia telah bulat suara menginginkan berdirinya kabupaten sendiri dan menjadi bagian dari NKRI.
Dengan pemekaran itu, mereka berharap tak hanya punya layanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, dan penerangan.T api pemekaran juga menjadi jalan damai untuk menangani persoalan separatisme, mengingat Ilaga adalah tempat kelompok pro kemerdekaan Papua. Ilaga pernah porak-poranda akibat kerusuhan masif, yakni 1977 dan 1982. Kantor-kantor pemerintahan dan rumah-rumah penduduk dibakar. Bahkan, banyak penduduk yang terbunuh. Ilaga saat itu ditengarai sebagai salah satu kawasan merah yang menjadi kantong gerakan pro kemerdekaan Papua.
Hampir 7 tahun perjuangan mereka menuju pembentukan Kabupaten Puncak itu. Dan, akhirnya Ilaga dimekarkan menjadi kabupaten Puncak pada tanggal 28 Oktober 2008. Itulah pintu awal daerah puncak Papua ini tersentuh oleh pembangunan meski jalan menuju Pilkada Puncak pertama mengalami konflik antar suku yang panjang. Kita tahu bahwa daerah Puncak atau daerah pegunungan Papua ini sering menjadi tempat pertikain antar suku dan juga Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan OPM yang berjuang untuk merdeka. Sehingga daerah ini baru dimulai pembangunan pada tahun 2014, dengan ditandai Gubernur Papua, Lukas Enembe secara resmi menjalankan alat berat yang menjadi pertanda dimulainya pembangunan jalan di Distrik Beoga.
Dan, kini, setelah tujuh tahun hadirnya Kabupaten Puncak yang dibawah kepemimpinan Willem Wandik, lebih kurang 80 persen pembangunan telah mengubah wajah Puncak. Dari daerah yang sangat terisolasi, kini telah memiliki akses yang terbuka. Dari daerah yang gelap menjadi terang. Dari daerah yang harga kebutuhan hidupnya mahal selangit menjadi kawasan dengan harga yang terkendali, walaupun tak bisa dibilang murah.
Tingkat dan kualitas pendidikan masyarakat juga mulai meningkat. Dari banyak masyarakat yang buta huruf dan anak anak tak bersekolah, kini telah bermunculan para sarjana dengan beragam profesi, seperti dokter, pilot, dan sebagainya. Bahkan, sudah ada yang menempuh pendidikan jenjang magister.
Pola pikir masyarakat mulai berubah. Dari masyarakat yang apatis menjadi masyarakat yang optimis. Dari masyarakat yang minder menjadi masyarakat yang penuh rasa bangga pada kampung halaman. Kualitas hidup sehat masyarakat pun mulai membaik. Dari rumah-rumah honai ke rumah kayu dan tembok.
Pembangunan dan penataan infrastruktur sebagai pijakan dasar kota pun dibangun di sana-sini. Pembangunan jalan dan jembatan ini tidak hanya terfokus di Ilaga, melainkan juga jalan kabupaten yang menghubungkan antara Ilaga dan Sinak, Ilaga dan Beoga, serta Ilaga dan Wangbe. Pembangunan jalan darat antar kabupaten juga dibangun untuk menghubungkan antara Ilaga-Beoga-Sugapa dan Ilaga-Sinak-Puncak Jaya, serta Ilaga dan Grasberg di Timika.
Dalam membangun sarana transportasi darat antarkabupaten ini, Willem Wandik juga berjuang untuk meminta akses jalan khusus Timika-Grasberg milik PT Freeport Indonesia. Karena dari Grasberg menuju Ilaga hanya perlu dibuka sepanjang 80 km sehingga akses langsung dari Ilaga dan distrik-distrik lain ke Kota Timika tercipta. Tapi, selama bertahun-tahun, izin itu tak juga diperoleh hingga sekarang—meski hanya untuk jalan sementara, untuk membawa distribusi barang bangunan dan logistik warga pegunungan dari Timika ke Ilaga.
“Saya berupaya melobi ke pusat. Dan, puji Tuhan, saya diberi kesempatan bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Saya menyampaikan betapa sulitnya kehidupan masyarakat yang tinggal di puncak pegunungan Papua selama ini.
Dan pertemuan di Istana Merdeka mendapat respons dari Presiden Jokowi. Presiden kemudian mendorong Freeport membuka akses jalan Timika-Grasberg tersebut dengan mewakilkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadi Muljono dan Menteri ESDM Sudirman Said pada Februari 2017 mengunjungi Ilaga.
Sekian tahun dari presiden ke presiden tidak ada yang berani membuka pembicaraan mengenai pembukaan akses Pegunungan Tengah Papua yang menjadi area kekuasaan Freeport ini. Daerah Pegunungan Tengah Papua ini menjadi area tabu dan menakutkan untuk dibicarakan. Baru saat ini, pemerintah pusat di bawah pemerintahan Jokowi memberikan perhatian.
Saya dan rakyat Puncak merasa bahagia dengan komitmen pusat pada pembangunan tanah Papua, khususnya di Kabupaten Puncak ini. Karena itu, saya atas nama rakyat Puncak mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Presiden Jokowi yang selalu memperhatikan Papua, khususnya untuk infrastruktur dan transportasi,” ucap Willem Wandik pada saat saya wawancarai.
Ya, kini, sejumlah ruas jalan yang menghubungkan antardistrik di puncak Papua yang dulu tertutup itu telah kini telah dibangun. Di antaranya adalah jalan Ilaga-Wange, Ilaga-Beoga, Sinak-Agandugume, Sinak-Bina, dan Mundidok-Gome. Pembangunan jalan ini, sekali lagi, menggunakan anggaran APBD yang merupakan dana Otsus. Sejak 2013 sampai dengan sekarang, pemerintah mendapatkan alokasi dana Otsus sebesar 120 miliar rupiah lebih. Sekira 25-40 persen dialokasikan untuk Pembangunan jalan.
Selain konektivitas antardistrik, yang turut dipercepat pembangunan infrastrukturnya adalah jalan antar distrik/kabupaten. Semua pembangunan dalam rangka membuka keterisolasian dan ketertinggalan Kabupaten Puncak baik secara fisik maupun nonfisik itu semua buah positif dari sebuah pemekaran daerah. Bahkan berkat pembangunan itu, beberapa aktivis gerakan organisasi Papua merdeka akhirnya menyerahkan diri dan bergabung pada NKRI karena telah melihat pembangunan telah hadir di tengah-tengah masyarakat puncak pegunungan Papua. ***