Word: Ayu Arman
Oleh karena itu, visi dalam kepemimpinan kami adalah mewujudkan masyarakat Kabupaten Tambrauw yang sejahtera, mandiri dan bermartabat dengan lima misi, yaitu (1) membangun kualitas sumber daya manusia yang sehat, cerdas, profesional dan beretika, (2) membangun pondasi kelembagaan dan struktur ekonomi daerah yang mensejahterakan masyarakat, (3) membangun birokrasi pemerintahan daerah yang efisien dan efektif dibawah panji tata kelola pemerintahan yang baik, (4) mengembangkan sarana dan prasarana infrastruktur daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, (5) menjaga kelestarian lingkungan dengan mewujudkan Tambrauw sebagai kabupaten konservasi, (6) melestarikan budaya dan memperhatikan hak-hak dasar masyarakat Tambrauw.
Untuk mewujudkan visi dan misi itu, kebijakan utama kami adalah membuka konektivitas wilayah sebagai upaya membuka keterisolasian dengan membangun infrastruktur dasar berupa jalan. Sebab, jalan merupakan komponen terpenting dalam menggerakkan arus manusia. Jalan adalah urat nadi kehidupan masyarakat yang berperan penting dalam mendukung ekonomi lokal, layanan publik, kesehatan, pendidikan, serta tugas-tugas pemerintahan.
Jalan pertama yang kami bangun adalah jalan yang menghubungkan ke Sausapor. Yaitu, jalan dari Mega ke Sausapor (32 km) untuk menunjang gerak roda pemerintahan di ibu kota sementara. Setelah itu, kami membuka jalan dari Sausapor ke Werur (17 km), kemudian jalan Mega ke Fef (67,164 km) kemudian jalan dari Fef ke Siakwa (45,735 km), ruas jalan ini menghubungkan ruas jalan nasional menuju Kebar menuju Manokwari dan arah Maybrat menuju Sorong yang merupakan jalan poros utama menghubungkan Tambrauw dengan Manokwari dan Sorong dan dapat menghemat 146 kilometer.iLebih kurang 87 persen jalan poros utama dari Mega ke Fef telah kami selesaikan dengan status jalan hotmix dan rigid, Hanya tersisa 13 kilometer dalam kondisi pengerasan (sirtu) yang kami serahkan kepada Provinsi Papua Barat.
Setelah membuka dan membangun jalan poros utama itu, kami membuka jalan antardistrik yang memiliki konektivitas wilayah permukiman dan daerah strategis potensial. Seperti, jalan dari Fef ke Syujak (12 km), dari Fef ke Ases (13 km), dan seterusnya. Dari 29 distrik, kini tinggal 7 distrik yang belum terhubung. Yaitu, Tobouw, Koesevo, Tinggouw, Kebar Selatan, Manekar, Kasi, dan Ireres.
Kami juga membuka dan membangun ruas jalan dari distrik ke kampung-kampung. Total ada 216 kampung.
Berbarengan dengan pembangunan jalan itu, kami membangun jembatan. Pembangunan jembatan juga tak kalah penting dengan jalan raya. Sebab, Tambrauw memiliki 986 sungai dan anak sungai yang memisahkan wilayah. Jika hujan, sungai-sungai itu meluap, banjir, dan mengganggu arus perjalanan darat.
Mulai dari 2011 hingga 2020, kami telah membangun 19 jembatan. Di antaranya adalah jembatan dalam Kota Saosapor, Waisan (100 meter), Warmanen (90 meter), Kamundan (120 meter), Warsway (45 meter), Wowey (60 meter), Mega (80 meter), Abun (25 meter), Isakao (50 meter), Hopmare (20 meter), Syujak I ( 40 meter), Syujak II (60 meter), Bamuswaiman, (25 meter), Inet (35 meter), Warsway II (25 meter), Warmasi (50 meter), Sujau (35 meter), Sunok (50 meter), dan Irawiam (70 meter). Diantara jembatan yang dibangun itu yang terberat adalah jembatan Kamundan sungainya sangat deras dan merupakan sungai terpanjang di kepala burung.
Ruas jalan dan jembatan pada poros jalan utama dari Mega ke Fef sesungguhnya wewenang Provinsi dan juga Pusat untuk membangunnya. Karena kami menggunakan jalan dan jembatan itu, saya bersikeras untuk membangunnya dengan anggaran daerah Tambrauw. Jika menunggu Provinsi yang membangun, kami akan menunggu lama, sementara roda pemerintahan harus jalan. Pelayanan masyarakat harus jalan. Oleh karena itu, saya tidak peduli itu wilayah wewenang Provinsi atau pun Pusat. Selama jalan itu dalam wilayah Tambrauw, saya harus selesaikan pada masa kepemimpinan saya. Karena, saya ingin akses transportasi darat Tambrauw semuanya terbuka dan terkoneksi antardistrik dan antarkabupaten dengan cepat. Sebab, masyarakat pedalaman Tambrauw sudah terlalu lama hidup tertinggal. Tubuh saya ini merekam semua pengalaman hidup di daerah tertinggal dengan segala cerita sakit dan sedihnya.
Setelah konektivitas jalan darat mulai terbuka, pada 2016, saya mulai membangun Distrik Fef sebagai pusat pemerintahan secara bertahap. Mengapa Fef yang masih berupa hutan belantara itu dipilih sebagai ibu kota kabupaten? Sebab, posisi Fef itu berada di tengah-tengah antara wilayah pedalaman dan pesisir. Jika kita membuka peta Papua, letak Fef persis di tengah otak kepala burung.
Dirjen Otda Kemendagri sesungguhnya telah memerintahkan saya untuk segera memindahkan ibu kota Tambrauw dari Sausapor ke Fef pada periode awal kepemimpinan saya. Namun, saya katakan bahwa saya belum bisa memindahkannya dengan segera. Jika saya paksakan pegawai Tambrauw bekerja di Fef saat itu, saya seperti memaksa mereka untuk bunuh diri. Saya tidak ingin para pegawai Tambrauw mati terjungkal ke jurang atau terseret arus sungai. Siapa yang mau bertanggung jawab?
Saya tahu persis betapa tidak bersahabatnya medan geografis Tambrauw.
Meski jalan dari Mega ke Fef sudah dibuka dan sebagian jalannya dalam kondisi pengerasaan (sirtu), tetapi akses ke Fef masih sulit ditempuh. Sebab, perjalanan ke Fef itu harus menyeberangi sungai, naik turun bukit terjal, dan berkabut. Saat musim hujan dengan curah yang tinggi, jalanan berkubang lumpur karena longsor. Air sungai meluap. Banjir.
Sekali lagi, Tambrauw memiliki 986 sungai dan anak sungai. Sementara, jembatan yang di area jalan poros utama dalam proses pengerjaan. Jadi, jika hujan, air sungai naik dan mobil kami tidak bisa menyeberangi sungai-sungai itu. Kita harus menunggu air sungai surut berjam-jam bahkan berhari-hari. Oleh karena itu, perjalanan dari Sorong ke Sausapor atau Fef harus membawa bahan makanan beserta seluruh perlengkapan dapur: kompor, panci, parang, tali, linggis, dan sebagainya. Bahkan, kadang kami butuh kendaraan proyek untuk mengangkat mobil yang terseret arus sungai atau terjebak dalam lumpur di jalan.
Mobil yang kami gunakan juga harus mobil double cabin, seperti Toyota Hilux, Mitsubishi Strada, bahkan Ford Ranger. Pengemudinya juga harus punya skill sebagai seorang offroader dan punya nyali tinggi.
Kami menerobos jalan darat Tambrauw tanpa peduli waktu siang atau malam. Bahkan, saat sebelum jalan darat Sorong ke Sausapor dibuka secara umum pada 2012, yang diikuti 400 mobil Hilux dan dihadiri Gubernur Papua Barat waktu itu, saya telah menembus jalan itu terlebih dahulu dengan Iki.
Kami mengikuti jalan setapak bekas jalan perusahaan yang telah ditumbuhi tanaman liar, berlumpur, dan menukik karena perbukitannya masih tinggi, belum dipotong, dan menyeberangi lima sungai: Mega, Warmasi, Waisan, Warmanen dan Warabiyai (Kalijodo).
Kami berangkat siang hari. Cuaca terang. Namun, saat melintasi sungai Waisan, airnya naik tinggi. Iki menghentikan mobilnya.
“Coba kau turun ke dalam sungai itu. Jika air itu di bawah pusarmu, mobil ini bisa melewati sungai itu. Tapi, kalau air itu di atas dadamu, mobil tak bisa menyeberang. Kita menunggu,” kata saya.
Iki pun masuk ke dalam sungai. Ia mengukur kedalaman air itu dengan postur tubuhnya yang tinggi. Ketinggian air itu persis di batas pusarnya sehingga kami masih bisa lewat. Itulah cara kami mengukur apakah Hilux yang kami kendarai bisa menyeberang atau tidak. Akhirnya, intuisi Iki lama-lama terasa dengan sendirinya ketika melintasi sungai. Ia tahu kapan bisa maju menerobos arus dan kapan harus menunggu atau mundur.
Ada banyak cerita dalam setiap perjalanan darat kami saat menerobos jalan-jalan Tambrauw yang dulunya masih gelap. Di tengah jalan, terkadang kami bertemu sekumpulan kijang besar, ular, dan ratusan jenis burung. Kami juga kadang bertemu bongkahan batu besar di tengah jalan pohon yang tumbang akibat longsor sehingga kami harus menarik atau mendorong batu-batu, memotong ranting dan dahan pohon, menyeret ke pinggir jalan.
Selama menempuh perjalanan selama sepuluh tahun bersama Iki itu kami hanya sekali mengalami kesulitan. Kami hampir hanyut di Sungai Wepai Amberbaken yang arusnya sangat deras. Kami bersyukur mobil kami bisa bertahan dan keluar. Selebihnya, kami sering menolong mobil orang lain yang hendak menyeberang atau mengalami kesulitan di perjalanan. Bahkan, mobil Hilux kami pernah menarik bus besar. Saat itu, bus Dinas Perhubungan yang membawa pegawai saat mau upacara di Kebar terjebak dalam kubangan lumpur. Dengan keyakinan penuh, Iki menginjak pedal gas Hilux yang membuat roda depan bus terangkat. Masyarakat di sekitar dan para pegawai pada bersorak-sorai karena pertama kali melihat ada mobil berukuran lebih kecil menarik sebuah bus.
Ya, karena kondisi sulit dan membahayakan itulah saya tidak mau memindahkan ibu kota sebelum memastikan seluruh jalan dan jembatan menuju Distrik Fef bisa dilewati dengan aman. Kami menyiapkan Fef sebagai pusat pemerintahan selama empat tahun. Mula-mula, kami membangun kantor Bappeda. Setelah itu, kami secara berkesinambungan membangun kantor bupati dan kantor badan-badan, seperti Badan Pengelola Keuangan daerah (BPKD), Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Dukcapil, dan Dinas Kesehatan. Juga, gedung DPRD, rumah sakit, gereja, bank, tugu kota, dan lainnya.
Tak hanya membangun rumah dinas bupati, wakil bupati, dan Sekda kami juga membangun rumah pegawai eselon 2 dan 3 berupa dan berupaya meloby anggaran APBN melalui Kementerian Pekerjaan Umum untuk pembangunan perumahan susun tiga lantai dan Pembangunan rumah khusus juga untuk ASN itu bertujuan meringankan para pegawai karena hampir semuanya memiliki rumah di Sorong.
Kami merancang Fef sebagai pusat pemerintahan dengan konsep pembangunan hijau. Memadukan keindahan alam dengan hunian dan perkantoran modern. Sebuah perkantoran yang dikelilingi bukit dan hutan lindung yang dihuni ratusan burung endemik dan nonendemik. Sungai-sungai pun dipenuhi berbagai jenis ikan.
Akhirnya, kami baru memindahkan ibu kota ke Fef pada 7 Januari 2020, tepat tujuh tahun masa pemerintahan saya. Namun, saat pemindahan itu, sebagian masyarakat Sausapor menggelar demo. Mereka tidak menginginkan ibu kota pindah ke Fef. Sebab, Sausapor yang dulunya distrik mati, pelan-pelan telah ramai dan perekonomian masyarakat sudah menggeliat. Dengan berpindahnya ibu kota ke distrik Fef, mereka takut cahaya Sausapor padam kembali.
“Dulu, kalian sendiri yang menentukan Fef menjadi pusat pemerintahan karena letak Fef berada di tengah persis antara wilayah pegunungan dan pesisir. 7 tahun pemerintahan Kabupaten Tambrauw berada di Sausapor dan semua telah tumbuh dengan baik. Sekarang, saatnya kami pindah karena saya telah ditegur dua kali oleh Pusat. Kabupaten Tambrauw ini juga milik masyarakat Fef, Miyah, Kebar, dan lainnya. Apakah kalian tidak kasihan dengan masyarakat yang berada di pegunungan, yang datang jauh-jauh ke Sausapor hanya pergi mau ketemu Bupati atau mengurus keperluan administrasi? Mereka juga manusia sama seperti kalian. Mereka juga butuh pelayanan dari pemerintah,” kata saya menyadarkan sebagian masyarakat Sausapor yang mendemo itu.
Sebagai bupati pertama, saya harus komitmen untuk meletakkan pondasi dasar pembangunan Tambrauw dengan baik. Pembangunan infrastruktur adalah pondasi dasar daerah maju. Pembangunan jalan, jembatan, dan gedung-gedung perkantoran itu kami rancang dengan kualitas bangunan yang baik. Kami membangun bukan asal cepat. Kami membangunnya dengan kualitas terbaik agar pembangunan itu berkelanjutan di masa depan.