TONNY TESAR

TONNY TESAR
  • Bagikan

Word: Ayu Arman

DULU, KETIKA DARAH PAPUA DIRAGUKAN

Kita tidak bisa memilih apa yang disodorkan takdir untuk kita. Tapi kita bisa memilih tujuan hidup seperti apa yang kita inginkan.

—Tonny Tesar

Mengapa memilih Tonny Tesar? Sebaris pertanyaan yang dilemparkan lawan politik kepada masyarakat saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kepulauan Yapen sepuluh tahun silam. Saya paham mengapa keraguan itu muncul. Mereka melihat rupa saya yang berbeda dengan saudara Papua lainnya. Saya terlahir sebagai Papua “putih”, generasi blasteran yang mewarisi percampuran ras Mongoloid dan Melanesia. Orang-orang menyebut kami dengan istilah “Perancis” yang merupakan akronim dari “Peranakan Cina Serui”.

Saya sepenuhnya menyakini bahwa kita semua tidak bisa memilih siapa kedua orang tua kita. Tidak bisa memilih lahir di negara mana. Tidak bisa memilih dalam keadaan apa dan di mana kita bakal meninggalkan dunia ini. Namun, kita bisa memilih bagaimana cara kita menjalani hidup, cara bersikap pada keadaan, dan menetapkan tujuan hidup seperti apa yang kita inginkan. Kita bisa memilih dan memutuskan mengerjakan apa yang penting dan bernilai dalam kehidupan kita. Sebab, siapapun warga negara, terlepas dari ras dan etnis yang melekat, kita memiliki hak yang sama untuk berkarya dan berkiprah untuk tanah air Indonesia ini. Konstitusi tertinggi menjamin hal itu.

Namun, dalam kehidupan sosial politik, sebagian identitas kesukuan atau etnis di Nusantara ini kadang masih kerap mendapatkan stereotipe kurang baik sehingga menjadi cikal konflik. Dikotomi pribumi dan nonpribumi, orang asli Papua atau non asli Papua, masih menjadi narasi politik yang membelah tajam dalam struktur kehidupan sosial politik. Kala saya mencalonkan diri di palagan pilkada Kepulauan Yapen pada 2010 dan 2017 silam, stereotipe dan prasangka buruk berseliweran kepada saya. Bahkan, darah Papua saya pun diragukan sebagian kalangan.

Saya memahami itu. Saya sadar dengan kondisi faktual itu. Sebab, lingkungan sosial dan politik di Indonesia sampai saat ini masih mempergunakan politik identitas sebagai instrumen dalam meraih suara maupun pengaruh dalam masyarakat. Juga, sebagian dari mereka belum mengenal akar keluarga saya yang berasal dari Papua. Mereka belum memahami sejarah warga keturunan Tionghoa yang merupakan salah satu etnis dan suku bangsa Indonesia yang sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka dan juga ikut berjuang untuk pembebasan nasional dari jerat rantai kolonialisme.

Pembatasan peran yang diberlakukan pada masa orde Baru pada warga keturunan Tionghoa yang hanya menduduki peran ekonomi membuat mereka lebih banyak berkiprah sebagai pengusaha, menekuni pekerjaan dagang atau bisnis. Latar belakang keluarga dan saya pun sejatinya seorang pengusaha yang kemudian memutuskan terjun ke dunia politik dan pemerintahan.

Ada alasan kuat mengapa akhirnya saya harus terjun ke gelanggang politik ini.

Setelah reformasi 1998, masyarakat etnis Tionghoa yang merupakan warga negara Indonesia tidak lagi dibatasi aktivitasnya pada peran ekonomi semata. Sehingga, sebagian warga keturunan Tionghoa yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab sosial kepada bangsa ini akhirnya dapat berperan aktif dalam kegiatan politik untuk menyumbangkan pemikiran dan pengabdiannya untuk tanah kelahirannya. Kepedulian dan kecintaan pada tanah lahir itu pula yang menggerakkan saya untuk mengambil peran politik dan pemerintahan.

Kepulauan Yapen adalah tanah tumpah darah saya. Sebuah rumah besar yang terletak di Teluk Cendrawasih dengan visualisasi gugusan pulau dengan garis pantai memanjang yang diapit Selat Sorenarwa dan Saireri. Sungai-sungainya berkelok di antara rimba raya, perbukitan, dan pegunungan. Hutan Kepulauan Yapen bahkan menjadi salah satu kawasan cagar alam di Provinsi Papua.

Secara administratif, Kepulauan Yapen memiliki kawasan perairan (4.713,16 km2); dua kali lebih luas dari daratannya (2.432,49 km2). Ibu kotanya, yakni Serui, sudah dikenal sebagai kota pendidikan sejak zaman Belanda karena pada masa itu sudah berdiri sekolah berasrama dari tingkat dasar hingga menengah Bahkan, Serui pernah menjadi basis perjuangan pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Ada banyak pejuang yang lahir dari kota ini. Sebut saja Silas Papare, Berotabui, Stevanus Rumbewas, Hermanus Wayoi, dan tokoh muda lainnya yang merintis kebangkitan nasionalisme Indonesia.

Semangat nasionalisme masyarakat Serui itu kian menguat dengan hadirnya Dr. Sam Ratulangi yang diasingkan pemerintah Belanda di Serui. Mereka menghadirkan berbagai kegiatan kursus politik yang menanamkan semangat nasionalisme. Salah satu monumen dari sejumlah kursus itu adalah berdirinya gerakan merah putih lewat Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) setahun setelah Jakarta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat Kepulauan Yapen pada umumnya memiliki potensi sumber daya manusia yang dapat diandalkan dan memiliki peran penting dalam pembentukan semangat nasionalisme yang cukup tinggi ketimbang masyarakat kota lainnya di Papua.

Hal tersebut terbukti banyak orang Serui di Kepulauan Yapen menduduki jabatan penting di negeri ini. Salah satunya adalah Laksamana Madya (Purn.) Freddy Numberi, tokoh militer yang pernah menjabat sebagai gubernur di Papua dan menteri di dua pemerintahan yang berbeda; menjadi Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada masa pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada pula Brigadir Jenderal Marinir Abraham Octavianus yang merupakan gubernur Papua Barat pertama. Atau, Yorrys Raweyai, politisi dengan nama berkibar di ajang nasional.

Hanya saja, Kepulauan Yapen yang melahirkan banyak manusia pintar dan sukses itu daerahnya masih terisolasi berpuluh-puluh tahun semenjak berdirinya Kabupaten Kepulauan Yapen pada 1969. Pembangunannya stagnan. Orang-orang menyebut daerah kami ini dengan sebutan “Kota 3 Kilometer”. Sebab, pembangunannya sepotong-sepotong. Pembangunan jalannya hanya di sekitar area kota saja. Akses jalan darat menuju distrik dan kampung-kampung nyaris 90 persen masih tertutup. Satu-satunya jalan saat itu hanya bisa ditempuh lewat laut. Itu pun membutuhkan biaya transportasi yang mahal. Tidak semua masyarakat memiliki armada perahu atau speed boat dan mampu membeli bahan bakar. Bila waktu musim ombak besar tiba, perjalanan laut berisiko tinggi.

Terhambatnya pembangunan daerah Kepulauan Yapen itu bukan berarti orang Kepulauan Yapen tidak mampu mengurus tanah kelahirannya sendiri. Umumnya, mereka yang sukses di luar itu tidak mau pulang untuk membangun Kepulauan Yapen. Sementara saya, salah satu anak yang lahir, besar, dan bekerja di Kepulauan Yapen, menyaksikan betul bagaimana keterisolasian itu menciptakan rentetan persoalan yang sambung menyambung; mulai dari biaya hidup mahal, pendidikan rendah, kesehatan buruk, pelayanan publik terbatas, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah sehingga bertahun-tahun masyarakat Kepulauan Yapen digulung penderitaan yang nyaris akut.

Di sisi lain, ketika saya menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004—2010 tahu persis anggaran ratusan miliar telah digelontorkan Pemerintah Pusat untuk pembangunan Yapen. Namun, besarnya anggaran itu tidak mengubah wajah pembangunan. Sebagai anggota DPD RI yang mewakili provinsi Papua, saya tentu memberikan dukungan dan sumbangsih pemikiran pembangunan di belakang layar pemerintah. Namun, dukungan dan sumbangsih pemikiran itu juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Pada titik itulah saya menyadari bahwa inti persoalannya ada pada kepemimpinan eksekutif. Perubahan pembangunan di Kabupaten Kepulauan Yapen hanya bisa terwujud bila pemimpinnya memiliki komitmen membangun dan kepedulian sosial yang tinggi pada masyarakatnya.

Beberapa alasan itulah yang mendasari saya akhirnya mencalonkan diri pada pilkada Kepulauan Yapen 2010 lalu untuk mengubah arah pembangunan demi kemajuan masyarakat Kepulauan Yapen. Banyak hal yang saya impikan dari tanah kelahiran saya ini. Kemajuan infrastrukturnya. Kualitas sumber daya manusianya. Kelestarian alamnya. Kebangkitan pariwisatanya. Pertumbuhan ekonominya. Juga, kesadaran masyarakatnya untuk menjadi pribadi-pribadi yang mandiri secara ekonomi.

Ada banyak pengalaman yang menyentuh hidup saya di tanah kelahiran ini yang membuat saya benar-benar harus berkomitmen pada diri sendiri untuk mewujudkan mimpi itu. Saya sesungguhnya telah berupaya memberikan kontribusi bagi tanah kelahiran melalui anugerah yang saya peroleh dari peluang mengembangkan usaha konstruksi dengan membantu anak-anak untuk sekolah dan kuliah, membangun jalan dan tempat-tempat ibadah, dan juga membantu masyarakat yang dihimpit kesulitan. Namun, seberapapun besar kekayaan yang saya miliki, tidak pernah cukup untuk membantu banyak orang. Apalagi, untuk membantu sebuah daerah untuk maju dan mensejahterakan masyarakat seantero Kepulauan Yapen. Maka, satu-satunya jalan mewujudkan mimpi besar itu lewat jalan politik dan pemerintahan.

Komitmen diri saya untuk memajukan tanah kelahiran dengan mengambil jalan politik dan pemerintahan itu bukan berarti tidak ada tantangan yang menghadang dan risiko yang mengancam. Apalagi, saya seorang peranakan Cina Serui yang dianggap berdarah kotor oleh sebagian kalangan elite politik dan sering dijadikan amunisi konflik dan adu domba saat pilkada. Lantara isu etnis yang dimainkan dalam politik sebagai instrumen dalam meraih suara dalam pemilihan kepala daerah itulah saya nyaris menjadi sasaran dan target tembak oleh saudara-saudara saya dari organisasi Papua merdeka (OPM).

Mereka boleh tidak mengakui saya sebagai orang Papua. Namun, mereka tidak boleh melarang saya untuk mengatakan bahwa saya adalah putra Papua, Indonesia. Saya merasa bukan pendatang. Bahkan, saya merasa bukan menjadi bagian Tiongkok. Tiongkok bukan tempat lahir dan tinggal saya. Tiongkok hanya tanah air nenek moyang dari kakek saya. Saya lahir dan tumbuh besar di tanah Serui, Kepulauan Yapen, Papua ini. Di sinilah saya sekolah, bermain, dan berkarya. Seluruh gerak hidup saya, pikiran dan hati saya, dari kecil hingga kini berada sepenuhnya di Papua, Indonesia. Tidak terbayangkan oleh saya dikatakan sebagai pendatang padahal satu-satunya tempat yang saya tinggali sejak orok, sejak bayi, ya, Kepulauan Yapen ini. Politik identitas dalam politik kita ini menjadi palang halang seseorang untuk politik identitas dalam politik kita ini menjadi palang halang seseorang untuk mencintai tanah tumpah darahnya secara paripurna.

Saya tahu bahwa dalam sejumlah momentum di Indonesia, politik identitas sering menjadi isu. Namun, saya tidak melihat isu itu sebagai sesuatu yang alami, genuine. Isu ras itu diciptakan, didesain, untuk kepentingan kekuasaan semata dari segelintir pihak. Saya percaya segala konflik yang mengeras dan membelah bisa dilunakkan dan disatukan dengan cinta kasih dan kehendak untuk semata berbuat baik. Getaran kebaikan yang tulus adalah bahasa kehangatan universal yang mampu mempersatukan kita semua tanpa memandang ras dan menimbang kelas sosial.

Tak hanya keturunan Tionghoa yang menjadi isu, motivasi politik pengusaha juga sering dicurigai saat hendak terjun ke arena politik. Itu juga saya alami. Mereka boleh meragukan motivasi politik saya karena latar belakang saya seorang pengusaha. Itu adalah hak mereka untuk menilai. Namun, kita harus membuka mata bahwa pengusaha bertransformasi menjadi politisi di negeri ini sesungguhnya bukan hal baru. Sebab, hubungan antara pengusaha dengan dunia politik sesungguhnya sudah berbaur sedemikian rupa sehingga tidak mungkin terpisahkan.

Di satu sisi, transformasi itu adalah sebuah pilihan yang rasional karena pengusaha memiliki modal ekonomi yang cukup sehingga tidak mencari untung dari kekuasaan yang dimiliki. Di sisi lain, hal itu memungkinkan kekuasaan yang dimilikinya menjadi kendaraan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, mencari cuan yang sebesar-besarnya. Semua kembali pada karakter pribadi dan motivasi politik masing-masing. Apakah motivasi politiknya karena dorongan untuk melanggengkan bisnisnya atau untuk mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara?

Bagaimana mengukurnya?

Rekam jejak, waktu, dan kinerja selama memimpin itu yang menjawabnya.

Kita juga harus mengakui bahwa seorang pengusaha yang sukses umumnya memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi dan manajemen yang baik. Maka, jika seorang pengusaha menjadi pemimpin dan ia memiliki jiwa pengabdian pada bangsa dan negara lebih tinggi daripada jiwa bisnisnya, kepemimpinannya bisa menghidupkan dan memandirikan masyarakat dan daerahnya secara luas. Itulah acuan saya dalam memimpin Kepulauan Yapen ini. Mengabdi untuk kebaikan seluruh masyarakat tanpa melihat kelas, warna kulit, maupun faktor keyakinan agama.

Mengabdi pada kebaikan adalah jalan hidup saya. Itu adalah bentuk ungkapan rasa syukur saya pada Tuhan yang telah mencurahkan berkat yang luar biasa dalam hidup saya selama ini. Maka, ketika saya diberi amanah untuk memimpin Kepulauan Yapen selama satu dekade (2012—2022), saya menjalankan sebaik-baiknya untuk menghidupkan Kepulauan Yapen menjadi daerah yang nyaman, maju, sejahtera, dan seirama dengan tarian alam beserta segenap warisan budaya leluhurnya.

Puji syukur, selama memimpin satu dekade itu, sebuah perubahan tengah hadir di Kabupaten Kepulauan Yapen. Kita bisa melihat bagaimana mulanya Kepulauan Yapen sebagai daerah yang terisolasi dan gelap itu kini telah memiliki akses yang terbuka dan terang. Jalan itu  menghubungkan semua yang berjarak: jarak distrik, jarak kampung telah terhubung dengan baik. Sekarang, gerak aktivitas masyarakat Kepulauan Yapen kini lebih mudah, cepat, dan murah. Masyarakat bisa bepergian kapan saja, siang atau malam, tidak ada lagi kesulitan. Pertumbuhan ekonomi masyarakat pun mulai menggeliat. Masyarakat bisa membawa hasil tanamannya ke pasar Kota Serui kapan saja, siang dan malam. Pelayanan kesehatan bisa mereka akses kapan pun. Infrastruktur adalah induk dari segala pembangunan.

Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur menjadi hal utama dan penting dalam kepemimpinan saya. Mengapa?

Pertumbuhan ekonomi muncul tatkala infrastruktur sudah tersedia dengan baik. Ayo, lihat lebih dekat dan lebih dekat lagi Kepulauan Yapen. Mari memulainya dengan pertanyaan, mengapa banyak rumah yang dibangun dengan bahan alakadarnya? Mengapa ikan dan aneka buah dan sayuran hasil kebun masyarakat yang begitu melimpah belum bisa dipasarkan secara luas? Mengapa alam Kepulauan Yapen yang indah itu belum menjadi destinasi pariwisata?

Jawabannya adalah selama ini infrastrukturnya belum terbangun dengan baik.

Membangun infrastruktur sesungguhnya membangun ekonomi masyarakat. Kami membangun bandara, jalan, jembatan, dermaga, listrik, telekomunikasi, dan lainnya sesungguhnya menyiapkan masyarakat untuk mengembangkan produk dan jasa dari potensi alam yang masyarakat miliki sekaligus menarik investor untuk berinvestasi di Kepulauan Yapen. Kondisi infrastruktur yang baik mempermudah proses kegiatan ekonomi itu. Infrastruktur yang baik adalah modal untuk meningkatkan aktivitas masyarakat, menjangkau masuknya investasi, membuka keterisolasian antarwilayah, meningkatkan akses teknologi untuk membuka pertumbuhan ekonomi.

Setelah berfokus pada pembangunan infrastruktur, kami mendorong pembangunan ekonomi masyarakat dengan mengelola sumber daya alam daerah yang  kami miliki. Kepulauan Yapen itu menyuguhkan keindahan, tetapi juga menyimpan potensi perikanan dan jenis rumput laut dengan kualitas tinggi. Daratannya juga memiliki potensi pertanian yang besar. Mulai dari kopi, aneka buah, terkhusus durian dan matoa, dan berbagai sayuran. Hutannya menjadi salah satu kawasan cagar alam yang menyimpan keanekaragaman flora dan fauna yang cukup tinggi di antero Papua. Melihat potensi sumber daya alam Kepulauan Yapen itu, kami mengembangkan tiga sektor ekonomi. Yaitu, pengembangan perikanan, pertanian dan pariwisata.