KISAH AWAL LELUHUR DAN MISIONARIS DI PEGUNUNGAN BINTANG-PAPUA

KISAH AWAL LELUHUR DAN MISIONARIS DI PEGUNUNGAN BINTANG-PAPUA
  • Bagikan

Word: Ayu Arman

Saya bersama mama-mama di Oksibil-Pegunungan Bintang

Saya bersama mama-mama di Oksibil-Pegunungan Bintang

Kaki, hati, dan pikiran saya kembali berpijak pada tanah Lembah Oksibil, Pegunungan Bintang, sebuah lembah di bagian timur Pegunungan Tengah, Papua. Pegunungan ini merupakan jalur pegunungan lipatan dan sesar paling tinggi di Indonesia.

Lembah Oksibil dipagari empat tonggak puncak tertinggi: Gunung Julianaatau Puncak Mandala (4.700 m), Gunung Goliath atau Puncak Yamin (4.595 m), Gunung Antares (4.170 m), dan Gunung David (4.581 m). Dari sejumlah puncak gunung tersebut, Puncak Juliana merupakan yang tertinggi bersalju dan membentang membentuk gugusan bintang. Keserupaan itulah jadi musabab dinamakan Pegunungan Bintang.

Pegunungan bintang dari atas pesawat

Leluhur mereka menyebut gunung tertinggi itu dengan nama Gunung Aplim-Apom, tanah tertinggi tempat asal-muasal nenek moyang mereka yang diciptakan Atangki (Maha Pencipta). Mereka menyebutnya  sebagai manusia Aplim-Apom

Ada beberapa suku besar yang mendiami Pegunungan Bintang ini, yakni suku Ngalum, Kupel, Lepki, dan Murop, Kambon, Una Ukam, Batom, Omkai, dan Dapur.

Saat  melakukan perjalan ke Oksibil, ibu kota  Pegunungan Bintang ini, saya bertemu dengan Elizabeth Singpanki, salah satu perempuan berusia 73 tahun dari suku Ngalum. Dia mengisahkan kehidupannya sebagai perempuan yang menjalani tradisi dari nenek moyangnya.

Saya menyusuri bukit di Oksibil

Semenjak ditinggal suaminya, Doki Oktemka, meninggal tahun 1984, ia tidak pernah menikah lagi hingga kini. Sehari-harinya bekerja di ladang, menanam sayur mayur dan umbi-umbian untuk mencukupi kebutuhan makan anak-anaknya. Hampir seluruh hidupnya dicurahkan kepada keenam anaknya:

 Rudolf Oktemka, Leona Oktemka, Klemens Oktemka, Agustina Oktemka, Amatus Oktemka dan Costan Oktemka.

Saya bersama Mama Elizabeth Singpanki.

Dan ketika keenam anaknya mulai sedikit dewasa, ia mengumpulkan anak-anak yatim-yang tidak memiliki ayah dan ibu–di rumahnya untuk diasuhnya. Kurang lebih ada lima belas anak yang diasuh dan dibesarkan olehnya. Dan ia menghidupi mereka semua dari kerja ladangnya.

Dari dua puluh satu anak yang pernah diasuhnya itu, Costan Oktemka adalah salah anaknya yang berhasil. Ia pernah menjabat sebagai bupati Pegunungan Bintang pada periode 2015-2020.

TRADISI MELAHIRKAN PEREMPUAN NGALUM

dua mama sedang merajut

“Kehidupan perempuan Pegunungan Bintang sekarang sudah  lebih baik dari perempuan pada zaman saya,” ucapnya dengan tersenyum tipis. “Perempuan sekarang sudah bisa melahirkan di rumah sakit. Saya dulu harus melahirkan di sukam–honey kecil–tengah rimba hutan,” ucapnya mengawali ceritanya.

Dalam tradisi suku Ngalum dan suku-suku di sekitar Pegunungan Tengah, masyarakat dulu melarang perempuan melahirkan dalam rumah induk. Ia harus melahirkan dalam sukam di hutan hingga anaknya lahir dan tali pusarnya putus.  Karena menurut keyakinan mereka, laki-laki (khususnya suami) dilarang melihat darah istrinya saat persalinan.

Mama Elizabeth Singpanki menjadi salah satu perempuan yang menjalani tradisi itu.

Mama Elizabeth Singpanki saat bercerita

Mama berjuang seorang diri mendorong dan menarik bayinya keluar dari rahimnya di tengah hawa yang dingin. Dia hanya ditemani cahaya dari api kayu bakar sebagai penghangat sekaligus penerang dalam sukam. Disebabkan Mama telah berpengalaman melahirkan lima anak sebelumnya, ia tidak lagi membutuhkan orang lain untuk menolong persalinannya. Ia hanya membawa nimin, sembilu, untuk memotong tali pusar bayinya.

Pada kelahiran anak bungsunya, kakak tertua Mama, kepala suku Ngalum, meninggal dunia. Sehingga bayinya yang masih merah dibungkus dedaunan dan digendongnya  dari sukam dan dibawanya ke bokam iwol (rumah adat) untuk mengikuti upacara kematian ngolki (pemimpin) suku Ngalum yang menjadi teladan masyarakat Oksibil.

Secara adat, kaum perempuan dan anak-anak yang belum diinisiasi sesungguhnya tidak boleh masuk ke dalam rumah adat. Mereka hanya boleh ikut di luar bokam iwol, meskipun anggota keluarga ngolki yang meninggal. Larangan dan pantangan itu sangat keras. Mereka percaya, jika bayi sampai terkena darah jenazah dan roh jahat, akan membuat perkembangan fisik dan mental si bayi terganggu karena telah mendapat kutukan.

Namun, Mama melanggar adat itu karena ia tidak ingin meninggalkan anaknya seorang diri dalam sukam. Mama membawanya masuk ke dalam bokam iwol. Tindakan Mama itu membuat sebagian masyarakat marah, tetapi Mama seperti memiliki kekuatan tersendiri. Ia tidak takut kepada pantangan itu. Ia malah meletakkan tubuh mungil bayinya di samping jenazah kakak tertuanya dengan harapan energi baik dari roh sang kepala suku merasuk ke dalam tubuh bayinya. Mama berharap suatu hari nanti anak lelaki bungsunya mewarisi jiwa kepemimpinan kepala suku Ngalum. Dan apa yang diharapkan Mama Elizabeth Singpanki itu menjadi kenyataan. Anak bungsunya, Costan Oktemka, itu kemudian menjadi pemimpin pada tanah kelahirannya sendiri.

Mendengar cerita Mama Elizabeth, saya tak kuasa membayangkan perjuangannya dan para mama Pegunungan Tengah ketika melahirkan dengan cara melahirkan semacam itu. Sehingga di tahun 1970 hingga 1980, banyak sekali perempuan dan bayi di pedalaman Pegunungan Tengah meninggal karena kurangnya pengetahuan dalam penanganan persalinan. Segala sesuatunya mengandalkan hukum bertahan di rimba raya.

Potret perempuan pegunungan bintang

Mama Elizabeth Singpanki adalah salah satu perempuan yang kuat dan selamat. Mama Elizabeth Singpanki tak pernah mengenyam bangku sekolah formal, tetapi ia memiliki cara pandang jauh ke depan. Ia memiliki penghayatan hidup serta kemuliaan seorang ibu sejati.Mama sangat percaya bahwa sekolah, terutama untuk anak laki-laki, adalah jalan untuk menjadi pandai dan kelak memiliki kehidupan yang lebih baik.

Pada tahun 1980-an, sesungguhnya sudah ada sekolah dasar inpres milik pemerintah Indonesia, tetapi keadaannya sangat memprihatinkan. Sekolah itu lebih sering kosong karena tidak ada guru dan murid yang masuk. Begitulah kehidupan selama selama berpuluh-puluh tahun, tak tersentuh pembangunan dan tertinggal dalam berbagai bidang kehidupan: pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan informasi.

Mereka tinggal dalam honae-honae yang berjejer dari pinggir sungai ke arah gunung. Kami hidup dalam kelompok-kelompok kecil, terpencar, dan terisolasi dari dunia luar dengan sandang-pangan seadanya.

kota oksibil

Dataran rendah Pegunungan Bintang memang sangat sulit dijangkau dari luar. Selain dikepung deretan gunung-gunung tinggi, juga dikelilingi sungai dan rawa-rawa. Sungai Oksibil, Digul, Kawor, Iwur, Kao adalah identitas kami dan menjadi pintu keluar menuju daerah lain. Mereka menamai kampung sesuai nama sungai yang mengalirinya. Salah satunya Oksibil, tempat yang saya kunjungi.

Konon, nama Oksibil bermula dari seorang pastor bernama Yan van de Pavert dari Ordo Fratrum Minorum (OFM). Saat pertama tiba di sini, Romo Yan bertanya kepada masyarakat—dengan bahasa isyarat—di mana dia bisa mendapatkan air. Pertanyaan itu dijawab masyarakat setempat, “Ok sibil balieo.” Artinya, air ada di dekat sini. Kata “ok” memiliki makna air, sumber kehidupan, yang mengalir di tengah permukiman manusia. Itulah sebabnya, semua nama sungai menggunakan kata “ok”, misalnya Okaom, Oksop, Okiwur, dan seterusnya.

Saya berdiri di tengah kabut siang hari

Sepanjang hari, suhu di daerah ini amatlah dingin dan berkabut. Honae membantu kami terhindar dari risiko mati kedinginan di malam hari. Suhu makin dingin saat bulan purnama atau cuaca sedang tidak hujan. Kalau sudah begitu, kami menghangatkan diri dalam honae dengan api unggun.

Namun, karena honae tidak memiliki ventilasi udara, asapnya sangat mengganggu dan tidak baik bagi kesehatan kami, terutama buat saluran pernapasan dan mata. Banyak penduduk yang meninggal karena terserang penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat asap api unggun itu. Keadaan itu semakin diperparah karena tidak adanya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

AWAL PERJUMPAAN DENGAN DUNIA LUAR

Mereka baru mulai bersentuhan dengan dunia luar ketika para misionaris Eropa, khususnya Belanda, tiba  membawa misi pengabaran Injil Kristus.

Saat itu ilmuwan botani L.D. Brongersma  melakukan ekspedisi di lembah Oksibil, ia membawa serta tiga pastor OFM, yakni Jan van de Pavert, Herman Mous, dan Gabriel Roes. Usai penelitian, semua perlengkapan ekspedisi diserahkan kepada penganjur keagamaan itu. Dengan sisa barang perlengkapan para ilmuwan itulah para pastor membangun pos pemerintahan di Oksibil dan mulai membangun misi Fransiskan, yakni menyebarkan kabar keselamatan di seluruh Lembah Oksibil dengan membangun gereja dan sekolah dasar. Para pastor itu juga dibantu oleh para penginjil dari Muyu, Paniai, maupun Keerom.

saat misionaris masuk ke oksibil

Mama Elizabeth masih ingat, pada 1959 para misionaris itu pertama kali memberikan pelayanan dan menyebarkan misi keselamatan kepada para penduduk Lembah Oksibil. Saat itu, usia Mama kira-kira 8 tahun. Hari itu menjadi hari yang bersejarah bagi Mama dan penduduk lembah. Penduduk berkumpul menyambut kedatangan para misionaris, yang kemudian mereka panggil “tuan”.

Sebelumnya, para tenaga katekis dari suku Muyu Boven Digoel, Keerom, dan Pania mengabarkan tentang kedatangan para misionaris Belanda itu kepada kepala suku Ngalum dan para penduduk di kampung-kampung. Mereka berkata bahwa yang akan datang ke Oksibil adalah tuan-tuan kulit putih yang berasal dari selatan. Tuan-tuan itu “sakti”, tidak mempan bitki (ilmu hitam), dan memiliki kehidupan yang kekal di langit.

Kabar itu disambut gembira oleh sebagian penduduk Lembah Oksibil. Mereka berharap, kehadiran tuan-tuan yang sakti itu bisa menghindarkan mereka dari kematian akibat bitki.

Nenek moyang suku Ngalum memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan alam secara langsung. Seseorang dianggap berilmu bila ia memiliki keahlian tertentu, misal berburu, bertani, berpantun, bernyanyi, dan menari. Atau, bila orang itu memiliki kekuatan gaib untuk menyembuhkan dan menghilangkan nyawa manusia (bit). Bit adalah roh jahat pencabut nyawa.

Dulu, bila ada salah satu penduduk yang sakit lebih dari tiga hari kemudian ia meninggal, penduduk Oksibil langsung menganggap kematian itu disengaja orang-orang jahat dengan menggunakan bitki. Dan, karena kematian dalam kehidupan masyarakat Oksibil selalu melibatkan seluruh anggota masyarakat kampung, bila ada kematian yang dianggap tidak wajar, kerap memicu kemarahan dan pembalasan dendam sehingga terjadi perang antarsuku.

Sebelum misionaris datang, perang antarsuku kerap terjadi. Salah satunya Kampung Okipur dan Uldopom. Dua kampung ini telah berperang berbulan-bulan. Penyebabnya, seorang anak muda dari Okipur meninggal mendadak. Orang Okipur mencurigai orang Uldopom yang mengguna-gunainya. 

Pada suatu hari, kepala suku Ngalum mengumumkan kepada warga kedua kampung yang tengah berselisih itu: “Besok akan ada tuan-tuan masuk ke tempat kita. Tuan-tuan ini orang baik. Mereka membawa barang-barang antik dan bagus. Kapak, parang, dan pakaian. Tuan-tuan ini yang membuat kapak dan parang tajam. Kita harus menghentikan perang ini agar para tuan tidak pindah ke tempat lain. Agar, kita memiliki kapak tajam untuk membuka kebun kita dengan mudah. Mulai hari ini, kita harus bergabung. Tidak ada lagi musuh. Kita semua harus bersatu. Kita harus hidup baik-baik supaya tuan-tuan itu aman di tempat kita. Mereka aman dan kita pun aman. Jadi, kita harus menyambut mereka dengan baik.”

Kabar tersebut ternyata mampu menghentikan peperangan. Mereka kembali bersatu.

Para orang tua mereka sesungguhnya memiliki rasa persaudaraan dan kebersamaan yang tinggi. Sebab, adat mereka secara turun-temurun mengajarkan satu marga itu satu keluarga, satu persekutuan yang tidak boleh terpisah-pisah. Leluhur mereka memegang teguh nilai-nilai Iwol: kehidupan yang yepmum—kedamaian dan kebersamaan dengan sesama, alam, dan Sang Pencipta (Atangki).

Namun, karena leluhur mereka juga meyakini adanya roh-roh jahat (kaseng) yang merusak hubungan antarmanusia, manusia dengan Atangki, dan manusia dengan alam, kekompakan dan kebersamaan kami terbelah oleh sikap saling curiga yang berujung pada peperangan.

Setelah lama menunggu, akhirnya para misionaris itu tiba di Lembah Oksibil bersama guru-guru agama yang kebanyakan dari wilayah Boven Digul. Dengan perahu, mereka melayari Sungai Digul, Tanah Merah. Mereka segera membuat tenda sebagai pos misionaris sementara.

Pagi-pagi, masyarakat Lembah Oksibil telah berkumpul di depan tenda itu. Para penduduk menghias wajah dan tubuh dengan tanah merah. Rambut dan kepala mereka berhias bulu-bulu burung cendrawasih. Yang lelaki mengenakan koteka, perempuan mengenakan unom,rok dari serat jerami. Mereka menyambut kedatangan para tuan dengan tarian dan pantun. Menari dan berpantun adalah tradisi khas masyarakat Ngalum menyambut kedatangan tamu.

Dalam acara penyambutan itu, dua misonaris dari Belanda memperkenalkan diri dengan bahasa Ngalum. Mereka adalah Pastor Sibbele Hylkema OFM dan Pater Maus OFM.

Mereka lalu membagikan beberapa barang dan makanan, seperti sekop, parang, korek api, cermin, beras, dan garam. Inilah pertama kali masyarakat Lembah Oksibil melihat wajah mereka di depan cermin, mengenal rasa asin, dan korek api. Benda-benda itu menjadi sesuatu yang menakjubkan bagi mereka.

“Tuan-tuan ini bagus. Lebih baik kita ikuti mereka supaya nanti kita tidak kena panah atau bitki sehingga kita bisa hidup lama dengan mereka. Kita bisa berpakaian bagus, bersekolah bagus,” bisik sebagian penduduk. “Tapi, apakah mereka benar-benar sakti, tidak bisa terluka oleh kekuatan bitki, dan memiliki kehidupan kekal di langit?”

Rasa penasaran itu membuat mereka menerima dan mengikuti arahan para misionaris, meski mereka tidak langsung menerima begitu saja ajaran baru itu: Injil. Sebab, orang tua kami sesungguhnya telah memiliki kepercayaan sendiri. Kepercayaan lokal tentang kosmologi Aplim Apom.

Semua suku di bawah kaki Pegunungan Bintang ini percaya bahwa mereka merupakan keturunan dari satu moyang, yaitu Atangki (Allah yang tersembunyi dan berdiam di dalam kehidupan yang kekal/alam roh).

Atangki adalah roh yang hidup terselubung bersama bentang alam, terutama air, hutan, gunung, tumbuh-tumbuhan, dan kekayaan makhluk hidup yang tumbuh di sini.

Pandangan ini yang mendasari penyebutan beberapa tempat sakral di daerah kami. Salah satunya Gunung Aplim-Apomyangterletak di sentral wilayah adat Pegunungan Bintang yang juga merupakan sentral dari empat dimensi dataran pegunungan.

Secara literal, kata aplim dan apom dapat diartikan rumah darah atau api. Dalam makna, Apom dipandang sebagai seorang bapak bangsa dan Aplim dipandang sebagai ibu bangsa Pegunungan Bintang. Aplim Apom adalah orang tua bagi peradaban Bintang. Selain itu, gunung itu juga dipandang sebagai tempat yang paling tinggi dari segala bentuk ciptaan Atangki.

Para orang tua mereka menyakini bahwa dunia ini pada mulanya hampa, tak berisi, atau tanpa kehidupan. Atangki berfirman, lalu jadilah mangol (tanah), abenongmin (tumbuh-tumbuhan), okmin (air), dan aneka biota air. Atangki menciptakan segala jenis hewan. Atangki selanjutnya menempatkan mereka di dongkaer (darat), ok kaer (air), dan damkaer (udara).

Lalu, Dia membuat manusia laki-laki dan menamainya Kaka I Ase (bapak segala bangsa). Untuk menemaninya, Atangki kemudian menciptakan seorang perempuan dan menamainya Kaka I Onkora (ibu segala manusia). Penciptaan laki-laki dan perempuan pertama itu terjadi di Aplim Apom, dua gunung yang terletak di wilayah Pegunungan Bintang. Tempat inilah yang disebut oleh orang Belanda sebagai strenge bergeete (pegunungan bintang) atau yang dikenal sebagai Puncak Mandala. Di sinilah Atangki menciptakan manusia pertama dalam mitologi Pegunungan Bintang.

Atangki kemudianmenempatkan mereka di sebuah dataran antara Aplimdan Apom, yang dikenal dengan sebutan Aplim Bannal Banar Bakon atau lebih tepatnya yang saat ini terletak di Sibil Seramkatop (daerah Wanbakon). Di tempat inilah manusia pertama mulai membagi jalur untuk menguasai bumi Pegunungan Bintang. Di tempat ini pula dalam kepercayaan orang Ngalum, seluruh manusia di muka bumi ini berasal.

Jika meninggal, roh berangkat ke kandamil (tempat asal-usul setiap marga) atau wokbintakumbin (tempat serba melimpah). Sehingga, para tetua kami percaya bahwa nenek moyang, para leluhur, akan melindungi dan menjaga kami, orang-orang yang masih hidup, dengan sebuah perjanjian. Jika seseorang ingin memiliki hidup baik—keamanan, keberlimpahan makanan, kesehatan—ia harus menjaga jasad leluhurnya dengan baik sehingga suatu saat keluarga secara turun temurun akan menjadi baik.”

Tetua mereka memercayai itu semua. Oleh sebab itu, saat misionaris datang, mereka tidak langsung mengubah kepercayaan mereka meski mereka menyatakan menerima kehadiran orang lain yang mereka sebut dengan “tuan” tersebut.

Sebagian besar penduduk Pegunungan Bintang memerlukan waktu untuk yakin pada ajaran baru yang dibawa penginjil itu. Bapak saya, misalnya, tetap memegang kuat kepercayaan pribuminya hingga meninggal.

Langkah pertama yang dilakukan pemuka agama di Lembah Oksil adalah mengumpulkan masyarakat untuk bekerja sama membuka kebun dengan kapak tajam dan kemudian membagi-bagikan garam dan korek api sebagai imbalan.

Orang Ngalum, seperti suku-suku lain di pegunungan, adalah petani dan pengumpul buah-buah yang tumbuh subur di hutan. Kami menanam ubi jalar (betatas), kentang, kol, wortel, kacang tanah, serta timun dan labu siam. Kami juga mengumpulkan aneka buah dari hutan, beternak babi, serta berburu ke hutan. Orang tua kami telah memiliki budaya kerja berkebun dengan baik sehingga mereka senang mendapatkan ilmu baru dalam berkebun.

Mereka kemudian membuka kelas sekolah untuk anak-anak. Mereka mendekati rumah satu per satu dan mengajak anak-anak bersekolah. Mama adalah salah satu murid pertama yang mendapatkan pelajaran tentang membaca, berhitung, serta pelajaran agama Kristus dengan bahasa Ngalum.

Mama dan anak-anak lain kemudian mengikuti pembaptisan sebagai umat Katolik. Di sinilah Mama belajar ayat-ayat Injil mengenai penciptaan baru, sepuluh perintah Tuhan, kelahiran, kematian, kebangkitan, dan kekuatan doa.

Setelah anak-anak, mereka membuka kelas untuk para mama. Mereka mengajarkan membaca dan berhitung. Juga, mengajarkan kebersihan hidup, khususnya mengenali tubuh perempuan. Setelah itu, kelas untuk para pemuda dan bapak dibuka.

Para misionaris itu tidak hanya mengajarkan agama, membaca dan berhitung, tetapi juga mengenalkan cara hidup baru, seperti menghangatkan diri dengan pakaian yang menutup seluruh bagian tubuh, mengobati penyakit dengan obat-obat tertentu, seperti salep hitam dan putih, mengajarkan bahasa Indonesia, dan juga mengenalkan berbagai rasa dalam masakan kepada orang Ngalum.

Apalagi, setelah setahun keberadaan Misionaris, mereka bersama warga membuka lahan hutan untuk pembangunan lapangan terbang di Lembah Oksibil. Inilah moda transportasi pertama yang membuka keterisolasian kami dari dunia luar.

Gedung perkantoran pemda di Kota Oksibil sekarang.

Akhirnya, setelah sekian lama mengamati, para tetua mereka pun menerima dan percaya bahwa yang dilakukan para “tuan” itu adalah sesuatu yang baik, seperti menyebarkan misi keselamatan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pendampingan bagi seluruh penduduk Lembah Oksibil.

Setelah Lembah Oksibil yang menjadi pos pelayanan pertama, menyusul dibangun pos-pos pelayanan di lembah-lembah lain di kawasan Pegunungan Bintang. Alhasil, hampir 90 persen penduduk Pegunungan Bintang saat ini memeluk agama Katolik dan Protestan.

Saya bersama anak-anak Oksibil

Penduduk Lembah Oksibil belajar banyak hal lewat perjumpaan dan interaksi dengan “tuan-tuan” pastor dan pendatang. Mereka membuka wawasan dan pengetahuan mereka sehingga mereka tahu ternyata semesta ini begitu luas. Sebagaimana yang selalu dibayangkan dan diceritakan oleh Mama  Elizabeth kepada anak-anaknya.  “Di balik gunung-gunung tinggi itu pasti ada kehidupan lain yang beragam dan penuh warna. Kamu harus bersekolah agar kamu bisa melihat kehidupan yang lebih luas dan baik suatu hari nanti. .***