Word: Ayu Arman
MASA DEPAN PAPUA: ORANG PAPUA HARUS MAMPU MENGELOLA “EMASNYA” SENDIRI
Tantangan terbesar Papua saat ini adalah membutuhkan pemimpin berkarakter kuat agar mampu meningkatkan dan mengkonsolidasikan sumber daya manusia papua dan juga mempertahankan kelestarian alam papua yang luar biasa itu- Petrus Yumte.
Kita semua tidak bisa memilih siapa kedua orang tua kita dan lahir di negara dan daerah mana. Namun, kita bisa memilih bagaimana cara menjalani hidup, menetapkan tujuan hidup, dan bertanggung jawab pada apa yang kita pilih, dan apa yang telah ditentukan pada kita, termasuk pada tanah kelahiran kita. Siapapun diri kita, terlepas dari ras dan etnis yang melekat, kita memiliki hak yang sama untuk berkarya dan berkiprah untuk tanah kelahiran kita, tanah air Indonesia ini.
Sebagai anak bangsa Papua, saya sungguh terpanggil untuk membangun tanah Papua. Papua rumah besar di mana saya belajar hidup untuk mengasah daya juang, semangat diri, dan mengasah hati untuk peduli pada tanah kelahiran yang puluhan tahun masih tersandera oleh kompleksitas permasalahan di Papua.
Saya bersyukur bahwa pada saat ini Papua telah mengalami perkembangan infrastruktur yang revolusioner. Pemerintah pusat telah berupaya membangun jalur infrastruktur darat di wilayah Papua yang menghubungkan Sorong di wilayah barat, Jayapura di ujung utara, dan Merauke di ujung selatan melalui Pegunungan Tengah, Papua.
Papua hari ini dan Papua dua puluh tahun lalu telah jauh berbeda kondisinya, terkhusus pembangunan infrastruktur. Sehingga melihat Papua dari sisi Timur, yakni dari arah Pasifik, Papua tergolong wilayah yang cukup berkembang dan maju, tidak kalah dari sejumlah negara lain yang bernaung dalam Forum Kepulauan Pasifik seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, Federasi Mikronesia, Papua Nugini (PNG), dan Kiribati.
Namun, melihat Papua dari sisi barat, yakni dari Indonesia, Papua masih tergolong wilayah tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Apalagi pembangunan infrastruktur di Papua belum dibarengi dengan pembangunan sumber daya manusianya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, IPM di wilayah Papua masih berada di urutan terbelakang di Indonesia. Pada tahun 2022, rata-rata IPM nasional berada pada besaran 72,29 dan IPM wilayah Papua di bawah rata-rata tersebut. Rendahnya IPM itu mengindikasikan akses masyarakat Papua terhadap hasil pembangunan masih rendah. Bisa dikatakan kualitas hidup masyarakat Papua lebih rendah daripada rata-rata kualitas hidup masyarakat Indonesia pada umumnya.
Sebagai pegawai negeri, saya masih menyaksikan ketertinggalan masyarakat Papua, khusus di Kabupaten Timika masih besar sekali. Baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan juga perekonomian masyarakat Papua yang secara umum masih memprihatinkan dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Dalam bidang pendidikan saja, anak-anak Kabupaten Timika masih banyak yang belum bisa membaca dan menulis sampai saat ini. Bahkan, di kampus-kampus di Papua, masih ditemukan mahasiswa yang masih tidak bisa membaca dan menulis dengan baik. Kondisi itu sangat menyedihkan bagi saya. Karena saya tahu bahwa pemerintah daerah memiliki anggaran besar untuk pembangunan di daerah Papua.
Kita akui bahwa hari ini Papua memang membutuhkan pembangunan infrastruktur. Tapi, apa artinya infrastruktur yang bagus jika dilewati oleh orang-orang Papua yang tidak bersekolah, yang tidak bisa membaca dan menulis. Pembangunan infrastruktur itu tidak ada arti apa-apa jika tidak menghasilkan transformasi kualitas kehidupan bagi orang-orang lokal Papua.
Jalan dan jembatan itu memang memudahkan akses mereka yang tidak lagi berjalan berhari-hari menuju kampung atau daerah lain. Tetapi jalan dan jembatan itu bisa lebih memarginalkan mereka jika mereka tidak memiliki pendidikan atau ketrampilan untuk menghidupkan diri mereka untuk berdaya saing dengan dunia luar masuk ke Papua.
Dunia ini tahu bahwa Papua itu memiliki sumber daya alam yang kaya. Namun, siapa yang akan mengelolanya? Tentu, manusianya. Manusia seperti apa yang bisa mengelola kekayaan Papua? Tentu, manusia yang berpendidikan. Model pendidikan seperti apa?
Tentu, pendidikan yang berkualitas, yang mampu membangun kekuatan dari dalam diri manusia. Pendidikan karakter berbasis sumber daya alam Papua dan bertaraf internasional..
Model pendidikan seperti ini akan menumbuhkan sumber daya manusia yang bisa menghidupi diri dan orang lain yang akhirnya bisa menggerakkan sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah masing-masing.
Saat ini Papua sesungguhnya tidak kekurangan sarjana-sarjana muda. Setiap tahun UNCEN Cendrawasih Jayapura itu meluluskan hampir 1000 mahasiswa pemerintahan, ekonomi, hukum dan lainnya. Sayangnya, kualitas pendidikannya belum menghasilkan para sarjana yang bisa menghidupi diri mereka sendiri. Hampir lulusan UNCEN ini mendaftarkan menjadi pegawai negeri.
Saya pernah memberi tantangan kepada Rektor UNCEN untuk mengurangi kelulusan sarjana pemerintahan dan ekonomi tapi lebih memfokuskan pada pendidikan terapan yang berbasis sumber daya alam Papua, seperti sarjana pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan dan lainnya. Sehingga mereka bisa mengelola tanah dan laut Papua sendiri.
Bahkan, sampai saat ini belum ada satupun sekolah tingkat SMP atau SMA yang bertaraf internasional berdiri di tanah Papua meski Papua memiliki anggaran uang yang cukup besar dari pemerintah Pusat dan pengelola sumber daya alam yang ada di Papua.
Oleh karena itu, saya berani mengatakan para pemimpin Papua belum memiliki kepekaan dan memahami akar masalah ketertinggalan daerah Papua selama ini. Sampai hari ini belum ada pemimpin Papua yang bisa menciptakan atau menghadirkan pendidikan karakter berbasis sumber daya alam Papua yang berstandar internasional di tanah Papua.
Apalagi tantangan orang Papua hari ini berada di tengah tantangan global dan teknologi. Sehingga pemerintah daerah Papua harus menjadikan pendidikan sebagai leading program untuk mendorong dan menghadirkan pendidikan yang berkualitas, berkarakter Papua dan bertaraf internasional di tanah Papua. Karena pendidikan adalah investasi jangka panjang.
Apalagi jumlah orang Papua saat ini sedikit sehingga kualitas pendidikan Papua ini harus benar-benar dikelola semaksimal mungkin dengan anggaran yang besar. Karena satu-satunya cara untuk meretas kesenjangan ketertinggalan sumber daya manusia Papua dengan daerah lain di Indonesia hanya bisa dilakukan dengan pendidikan yang berkualitas. Tidak ada cara lain. Hanya pendidikan yang bisa mengangkat harkat dan martabat bagi manusia Papua dan pembangunan Papua di masa depan
Oleh karena itu, tantangan terbesar Papua saat ini adalah membutuhkan pemimpin berkarakter kuat agar mampu meningkatkan dan mengkonsolidasikan sumber daya manusia papua dan juga mempertahankan kelestarian alam papua yang luar biasa itu.
Kita membutuhkan pemimpin Papua yang revolusioner. Pemimpin yang mampu merancang sistem pendidikan Papua yang tidak sekadar mengajarkan ilmu dan keterampilan tapi juga karakter, kesopanan dan etos kerja yang kuat. Sehingga akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang berkarakter kuat dan punya rasa hormat pada peraturan dan hukum, mampu memproduksi produk dan berinovasi dengan teknologi. Sehingga kualitas pendidikan di Papua itu sama dengan kualitas pendidikan di Jawa dan Jakarta. Dan orang-orang Papua nantinya bisa mengelola potensi sumber daya alam atau “emas-emas”nya sendiri.
Itu semua adalah harapan dan mimpi saya tentang pendidikan Papua saat ini dan ke depan. Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan anggaran dan pengalaman, saya tergerak membangun yayasan Santa Clara dan mendirikan sekolah dasar Pelita Kasih. Sekolah dasar ini saya konsep tidak hanya mengajarkan pengetahuan umum tapi juga membekali anak-anak dengan kemampuan berbahasa Inggris, seni musik, dan karakter berbudi luhur.
Saya ingin anak-anak Papua dari kecil bisa berbahasa inggris dan bermain alat musik. Karena kemampuan bahasa Inggris dapat membuka kesempatan masa depannya lebih luas. Sementara belajar musik, selain membantu merangsang otak, musik dapat mengembankang ketampilan sosial dan kepercayaan diri anak. Sehingga kualitas pendidikan di Papua itu sama dengan kualitas pendidikan di Jawa dan Jakarta.
Sekolah dasar yang saya rintis ini memang tidak bisa mengatasi permasalahan besar soal pendidikan di tanah Papua. Namun, dengan sekolah ini, saya memiliki harapan anak-anak Papua tidak hanya memiliki pengetahuan umum tapi juga pintar berbahasa inggris dan bermusik.
Saat ini sekolah kami bekerjasama dengan panti asuhan Katolik Santa Susana Timika-Papua Tengah. Panti asuhan ini menampung anak-anak yatim piatu lantaran karena ditinggal oleh kedua orang tua mereka karena broken home atau meninggal.
Ada hampir 90 anak panti asuhan dari Santa Susana Katolik yang sedang kami didik di sekolah ini. Kami mendampingi, membimbing dan membentuk karakter mereka menjadi pribadi yang menjunjung tinggi moralitas Katolik, intelektualitas tingga dan disiplin.
Harapan kedepan, sekolah dasar ini akan berkembang menjadi sekolah dasar berstandar internasional di Timika karena pengajarannya telah menggunakan bahasa Inggris dalam kelas. Kami juga mempersiapkan asrama untuk anak-anak di luar panti asuhan. Karena berdasarkan pengalaman pribadi saya bahwa pertumbuhan anak manusia seperti tumbuhan-tumbuhan. Kalau mereka ditanam dan dirawat di habitat yang bagus, maka mereka pun akan tumbuh dengan bagus.
Kepedulian saya pada pendidikan Papua adalah tanggung jawab saya sebagai anak bangsa yang lahir di tanah Papua. Itu adalah komitmen saya. Karena saya merasakan sendiri bahwa kunci memotong penderitaan hidup adalah dengan memiliki pendidikan yang baik.
Seperti yang saya alami. Jika tanpa bantuan pendidikan dari Misionaris Katolik itu, saya tidak mungkin memiliki kehidupan yang baik seperti saat ini. Bahkan bapak saya yang tidak mengerti membaca dan menulis saja, ia memiliki kesadaran bahwa pendidikan adalah kunci mengubah kehidupan yang lebih baik. Karena itu, semenjak di bangku kuliah, kesadaran itu saya tularkan kepada teman-teman dengan mensupport mereka semaksimal mungkin di tengah keterbatasan materi saya.
Semoga sekolah yang sedang saya rintis ini suatu saat bisa menjadi dari dan mimpi saya tentang masa depan orang Papua yang mandiri, mengelola sumber daya alamnya sendiri. **