SALEMO

SALEMO
  • Bagikan

Word: Ayu Arman

Pulau Mangngaji Kitta’

Suara bedug bertalu-talu dan disusul azan zuhur terdengar ketika speed boat kami baru saja merapat di dermaga Salemo. Sebuah papan berdiri dengan ornamen meriam lawas menyapa ketika kami memasuki pulau ini. Papan itu bertuliskan: “Anda Memasuki Kawasan Bernuansa Islami Pulau Salemo DESA MATTIRO BOMBANG”

Desa Mattiro Bombang

Salemo, satu dari Gugusan Kepulauan Spermonde yang berada di Desa Mattiro Bombang, Kecamatan Liukang Tuppakbiring, ini berdekatan dengan Pulau Sabangko, Sagara, dan Sakuala. Jarak antarsatu pulau ke pulau hanya berjarak 1,5 kilometer. Dan, Salemo merupakan pulau terpadat dari keempat pulau tersebut.

Hampir seluruh permukaan tanah di pulau ini dimanfaatkan sebagai areal perumahan panggung yang terbuat dari kayu dengan kualitas terbaik. Bahkan, lantai bawahnya dibangun dengan konstruksi batu bata dan lantai tegel. Beberapa rumah dibangun dengan konstruksi beton secara keseluruhan. Di tengah area permukiman penduduk yang padat itu terbangun sebuah masjid besar dan megah. Itulah Masjid Nurul Ulama.

Kami pun memasuki masjid ini untuk turut salat berjemaah dengan warga sekaligus ingin merasakan keteduhan dari satu-satunya bangunan terbesar dan termegah di pulau ini.

Bangunan Masjid Nurul Ulama ini memang bukan masjid tua, tetapi ia memiliki sejarah yang tua. Masjid ini mulanya sebuah langgar kayu dan telah berdiri sebelum Indonesia Merdeka. Ia dijadikan tempat mengkaji kitab-kitab kuning dan menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan oleh para ulama. Sayangnya, bangunan langgar yang terbuat dari kayu itu telah lapuk di makan usia sehingga langgar itu direnovasi menjadi masjid. Renovasi terakhir dilakukan pada awal milenium ketiga.

Usai salat zuhur di masjid, pulau ini terlihat hening dan sepi meski padat oleh rumah-rumah yang dihuni masyarakat dari suku Bugis dan Makassar. Siang merupakan waktu buat mereka beristirahat. Sebab, umumnya penduduk Salemo bekerja sebagai nelayan dan sebagian lainnya menjadi pegawai negeri dan guru.

Nelayan yang berdiam di pulau ini adalah nelayan penangkap udang dan kepiting. Mereka mulai memasang jaring pada pukul 3 sore hingga 6 petang. Kegiatan menangkap kepiting ini dilakukan sepanjang tahun.

Di tengah hening siang itu, sayup-sayup telinga kami mendengar suara anak-anak yang melantunkan ayat-ayat Alquran. Kami pun menghampiri asal suara dari rumah kayu panggung yang tak jauh dari masjid. Rumah panggung kayu itu ternyata sebuah pesantren.

Selama dua tahun ini, rumah panggung ini dijadikan sebagai pesantren penghapal Alquran bagi anak-anak Salemo. Meski baru berdiri dua tahun, pesantren ini memiliki lebih kurang 50 santri. Tercatat sudah satu santri penghapal Alquran diluluskan pesantren ini.

Anak-anak Salemo

Tradisi pengkajian Islam di Salemo sebenarnya bukan kegiatan yang baru. Pulau ini pernah menjadi pusat pendidikan Islam tradisional terbesar di Sulawesi Selatan dari tahun 1910 hingga tahun 1957.

Dalam beberapa literatur disebutkan, sejak abad 19Kepulauan Spermondetelah menjadi salah satu pusat pengajaran ilmu-ilmu Islam di Sulawesi Selatan. Banyak alim ulama yang memilih tinggal di pulau-pulau Spermonde dan menarik banyak murid dari berbagai penjuru. Mereka umumnya berasal dari Mandar hingga Selayar untuk belajar agama. Salah satunya di Pulau Salemo.

Sebelum Indonesia Merdeka, nama Pulau Salemo sangatlah tersohor sebagai Mangngaji Kitta, kawasan para ulama mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam di Sulawesi Selatan. Barangkali, nama Salemo disematkan pada pulau ini bukan sembarang kata tanpa makna. Sebab, dalam teks La Galigo, ada kata “lemo” tertera di sana ketika mengisahkan peristiwa mandi ritual yang disebut Passili. Lemo adalah jeruk yang kemilau yang berkhasiat menghilangkan bau serta daki dari badan.

Ini bunyi lengkap kuplet La Galigo tersebut: “Narilullureng langiq busana. Naripeccakkeng lemo rakkileq. Le ppapalao rasa moninna. Rai kalapa le mabbenninna. Nattijjang ronnang La Togeq Langiq.Cemme mallangiq ri jarawetta oddang rituling Mappedda rasa mappalimpau to Senrijawa Talaga Unruq le langiriq wi Anaq dewata rirojengenn.” Disapukan langit membusa. Diperaskan jeruk kemilau. Yang menghilangkan bau. Serta daki yang melekat. Bangun berdiri La Togeq Langiq . Mandi kayangan pada pasu guruh bertelinga. Menghalau bau tubuh orang Senrijawa Talaga Unruq yang melangiri Anak dewata yang ia sayangi

Ya, Salemo pernah punya nama yang jaya pada masa yang jauh. Selain sebagai pusat syiar agama oleh para ulama, Salemo merupakan salah satu pelabuhan perahu dagang pinisi milik para saudagar kaya Bugis untuk melayani perdagangan antarpulau Sulawesi,  Kalimantan, Jawa, Sumatra, bahkan sampai ke Singapura dan Manila. Dan, kehadiran Islam di Sulawesi Selatan tidak bisa dipisahkan dari pelayaran dan ekspedisi dagang antarpulau ini.

Sejak runtuhnya Kerajaan Malaka pertengahan abad 15, Makassar menjadi pintu gerbang wilayah timur terpenting di Nusantara. Lalu, masuklah para saudagar asing dari Arab, Persia, India, Cina, Melayu, dan bangsa Eropa.

Para saudagar ini disambut ramah dan mendapatkan tempat oleh pembesar Kerajaan Gowa yang saat itu dipimpin Raja Gowa ke-12, yakni I Monggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590). Dialah yang memberikan fasilitas bagi para pedagang muslim untuk bermukim di sekitar istana. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan masjid. Nah, masjid di Mangallekana disebut-sebut sebagai masjid tertua yang pernah berdiri di Sulawesi Selatan. 

Sejak Gowa dan Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate, yakni Sultan Babullah, mengajak raja Gowa dan Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Kemudian datanglah Khatib Tunggal Datuk Makmur, atau populer di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan dengan nama Datuk Ribandang, muballig dari Minangkabau, yang akhirnya berhasil mengislamkan raja Gowa dan Tallo. 

Menurut serat lontaraq, pada 22 September 1605 Masehi, Islam diterima secara resmi di Kerajaan Gowa dan Tallo disusul ketika raja kerajaan tersebut memeluk Islam. Sang raja Gowa tersebut bernama Daeng Manrabia (Raja Gowa XIV). Ia bergelar Sultan Alauddin. Satu sosok lagi  dari Tallo bernama Karaeng Matoaya. Raja Tallo ini bergelar Sultan Abdullah Awwalul Islam. 

Dengan masuk Islamnya dua raja ini, tidak ada alasan untuk menolak Islam bagi rakyatnya. Islamisasi secara struktur adalah dengan menjadikan syariat sebagai dasar negara. Oleh karena itu, penghormatan khusus kepada ulama alumni Mekah, langsung atau tak langsung, memberikan dorongan kepada umat Islam di Sulawesi Selatan berkeinginan pergi belajar ke kawasan yang menjadi kiblat muslimin sedunia tersebut.

Salah satu pelajar dari Sulawesi Selatan yang langsung menimba ilmu ke Mekah adalah H. Abdul Rahim. Ia ulama Bugis kelahiran Tanete-Barru yang juga dikenal dengan gelar Puang Awalli atau Tuan Wali. Ulama yang lahir pada 1863 menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu di Mekah selama 19 tahun.

Sepulang ulama-ulama lulusan Mekkah ini ke tanah kelahiran, mereka oleh raja diangkat sebagai Parewa Sara’ (pengelola urusan-urusan keagamaan). Mereka mengamalkan ilmunya dengan membuka lembaga pendidikan Islam, yang di Sulawesi Selatan dikenal Mangngaji Kitta’.

Bagaimana, tertarik dengan Salemo ?. Tunggu cerita lengkapnya di Part II