On Misool, the most beautiful island with profound emotion, what we can experience is the mystical sensation
Word: Ayu Arman
Dua pekan menyusuri Pulau Misool—satu dari empat pulau besar di Raja Ampat, Papua Barat—serupa perjalanan kembali ke ibu bumi yang auratik. Ke mana pun mata memandang, kristal matahari yang menyentuh permukaan air dalam teluk dan selat-selat sempit membentuk gugusan panorama yang menenteramkan golak jiwa.
Bebatuan kapur di perbukitan karst yang berdiri dalam barisan yang teratur tak ubahnya tonggak-tonggak penyangga langit yang berumah di atas air
Seperti surga yang tersembunyi dan lengang, Misool adalah panorama purba bumi yang belum terjamah dengan latar warna lautnya yang biru hijau tosca dan dipagari tebing-tebing karts yang menjulang dalam beragam bentuk. Batu-batu purba itu mengingatkan kita pada blok-blok candi yang datang dari zaman yang jauh.
Pulau yang terletak di kawasan paling selatan Raja Ampat dengan luas wilayah 2.034 km² ini telah meneguhkan kekaguman pada perkawinan rasi istimewa dari apa yang digambarkan manusia tentang surga, tanah, dan air.
Tak sudah-sudah rasa syukur dan bangga terpanjatkan karena telah lahir di negeri yang dasar perairan lautannya menjadi hutan amazon bagi keanekaragaman terumbu karang dan spesies ikan. Kurang lebih terdapat 400 spesies terumbu karang, 75 persen jenis ikan hias, dan beragam megafauna—kumpulan paus, hiu, gurita, pari manta tersebar di akuarium raksasa ini.
Celah-celah sempit dan dalam lautnya menjadi jalur migrasi cetacean—kelompok mamalia laut—dan juga menjadi lokasi pemusatan lamun, tempat makan dugong-dugong (duyung), dan reptil atau penyu laut.
Perairan Misool juga menyimpan kurang lebih 200 laguna (danau) air asin serupa bentangan karpet hijau dengan aneka ragam bentuk dan ditumbuhi karang-karang unik dan cantik. Tiga di antara laguna itu menjadi rumah bagi ubur-ubur. Laguna itu juga menjadi rumah penyu sisik dan penyu hijau pemakan spon.
Sejumlah penelitian lingkungan dan kelautan yang dilakukan pelbagai lembaga internasional mengungkapkan bahwa perairan Raja Ampat adalah kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan jantung segitiga terumbu karang dunia, dan Misool menjadi kawasan konservasi terbesar dalam jejaring taman pulau-pulau kecil di seantero Raja Ampat.
Tengadahlah ke langit. Di petala cakrawala Misool, ratusan burung laut terbang bergerombol menghiasi biru langit serupa lukisan molek mooi-indie. Mereka terbang, menunggu gerombolan mangsa ikan achovy atau ikan teri saat muncul di permukaan air. Di sudut lain, cenderawasih yang disebut-sebut burung surgawi mengintip di balik hijau pepohonan.
Saksikanlah keluarga cemara bermain-main di gunungan laut yang menyembul dari dalam perairan. Gunung-gunung kecil itu berdiri kokoh dan dindingnya dihiasi terumbu karang yang beraneka rupa. Tarian ritmis karang lunak dan akar bahar mengikuti ritme aliran arus laut menyajikan kaleidoskop di bawah gelombang laut yang menerbitkan takjub.
Barisan bukit dan tebing karts Misool oleh warga setempat sejak lama menjadi simbol yang menumbuhkan rupa-rupa imajinasi. Sebongkah batu karang bisa ditafsirkan serupa sepotong hati. Bisa pula sebatang pohon Natal; bahkan simbol kekuatan pria. Masuklah ke dalam gua karst, stalaktit dan stalagmit yang di salah satu sudutnya kita berjumpa sebongkah batu serupa putri yang sedang dalam samadi abadi.
Perjalanan ke Misool saya awali dengan menapaki gua karts yang oleh masyarakat dikenal sebagai gua keramat.
GUA KERAMAT TOMOLOL, GUA SUCI
Tak banyak informasi yang mengupas keberadaan gua-gua di Raja Ampat. Ekspedisi ilmiah eksplorasi gua juga belum pernah dilakukan. Namun, sebagian besar masyarakat Misool mengenal dan mengetahui keberadaan gua kramat ini. Gua ini sering dikunjungi masyarakat setempat karena memiliki ikatan leluhur yang hidup secara terus-menerus dan membentuk kebudayaan.
Karena posisinya yang penting itulah gua keramat Tomolol ini kerap dipandang sebagai gua suci. Ia menjadi salah satu kawasan mistik dan dikeramatkan semua penduduk Misool.
Gua ini menyimpan pesona magis. Ceruk-ceruk tebingnya menjulang tinggi. Bongkahan batu karang yang saling berhadapan menjadi gerbang penanda bahwa kita sudah berhadapan dengan pintu masuk gua keramat. Lautan di kawasan gua ini tak beriak. Airnya berwarna hijau toscha, menggoda siapa saja untuk bercermin di permukaannya.
“Lihat tulisan di atas gua itu,” ujar Harun Sapua, pemandu kami, menunjuk guratan berwarna putih yang terbentuk dari kapur bebatuan ketika perahu mesin kami sampai pada mulut gua.
Ya, persis pada ketinggian gua keramat terdapat bekas tetesan air yang menggerus dinding kapur seolah-olah membentuk lafaz “Allah” dalam tulisan Arab dan semakin menegaskan gua ini sebagai tempat yang keramat.
Gua ini telah melahirkan sekian banyak cerita legenda rakyat yang diyakini dan diwariskan secara turun-temurun. Di beranda gua terdapat dua buah jere atau makam. Makam ini diyakini sebagai kuburan sepasang suami-istri, nenek moyang mereka. Suami-istri itulah yang dipercayai sebagai wali penyebar agama Islam pertama di bumi Misool. Sebagian masyarakat juga menyakini bahwa gua yang sangat besar ini dahulunya menjadi pusat kerajaan Misool.
Cerita gaib kerap berhembus dari gua ini. Konon, kisah pemandu kami, di lokasi ini sering terdengar suara pemain rebana. Pengunjung beruntung jika bisa mendengar suara rebana itu karena bertanda kehadirannya disambut oleh leluhur mereka, para penjaga gua.
Pemandu menyarankan kami untuk berdoa terlebih dahulu, meminta izin untuk berziarah sebelum menyusuri dan menikmati pemandangan gua keramat yang indah dan agung ini.
Kami pun memanjatkan doa bersama, dan Puji Tuhan, kami tiba-tiba dikejutkan suara tetabuhan rebana dengan alunan pelan. Kami semua terdiam, saling memberi isyarat, untuk mendengar suara rebana yang datang dari kedalaman gua itu.
Cerita pemandu kami ternyata bukan angin lewat. Suara itu jelas terdengar di cuping telinga beberapa saat sebelum perlahan menghilang. Yang aneh adalah tak satu pun dari kami begidik takut atau terancam oleh suara gaib itu. Malah kami ingin merasakan sensasi suara itu lebih panjang lagi. Ingin rasanya kami bertukar sapa, berbagi kisah. Sayangnya, suara itu sekali muncul tak kembali lagi.
Tak ada yang tahu apa dan siapa suami-istri yang dimakamkan dalam gua itu. Bahkan, para kamitua yang kami temui enggan menyebutkan dua nama makam itu. Mereka hanya menjawab, ”Biarlah nama makam itu tetap menjadi rahasia.” Namun, sebagian dari mereka menjawab dengan mengikuti secara presisi wejangan kamitua terdahulu bahwa makam itu adalam makam ulama sekaligus saudagar dari Arab yang pertama kali menyiarkan Islam di Misool.
Tak jauh dari gua keramat ini, kira-kira berjarak 3 meter, juga ditemukan makam tunggal di atas batu karang di atas permukaan air laut. Menurut sahibul hikayat, makam itu adalah makam puteri keluarga ulama tersebut.
Namun, rasa penasaran saya yang mencucuk-cucuk mempertemukan saya pada satu referat ilmiah berjudul “Komoditas dan Dinamika Perdagangan di Papua Masa Sejarah”.
Artikel karya M. Irfan Mahmud dari Balai Arkeologi Jayapura itu memberikan sejumput titik penerang. Dalam artikel itu diungkapkan bahwa sepanjang periode abad ke-18, pedagangan dari Maluku, Jawa, Bugis, Makassar, Arab dan Eropa sudah masuk dan mengeksplorasi komoditas unggul di Papua yang sudah dikenal sangat laku di pasar dunia sejak abad pertengahan.
Bukti eksistensi orang-orang Bugis ditunjukkan pada makam kuno di situs Lilinta dan Waigama, sementara kehadiran saudagar Arab ditemukan di situs Usaha Jaya, Misool. Ya, itu tadi, di gua keramat.
Masyarakat setempat menempatkan gua keramat ini sebagai objek terpenting di Misool. Bahkan, sebaris kata-kata ini nyaris menjadi penentu: “Anda belum bisa dikatakan pernah ke Misool jika Anda belum pernah ke Keramat-Tomolol”. Meski gua karts di Tomolol ini dikeramatkan, bukan berarti gua ini menampakkan wujud yang seram.
Gua ini malah menampilkan keindahan dan uar keagungan. Dari mulut gua tampak karpet air berwarna turquoise dengan stalaktit dan stalagmit yang memancarkan pesona. Energi yang dipendarkan ruang gua ini sejuk dan tenang.
Kami memasuki dan melewati gua ini dengan perahu kecil dan kami langsung disergap nuansa aura purba. Stalagtit dan stalagmit yang menempel di dinding-dinding gua terus-menerus basah. Gua ini cukup besar dan terkadang bisa sangat gelap di titik tertentu.
Sebagian airnya yang keruh dan dasar air tidak terlihat membuat sensasi mistis dan sedikit menakutkan. Di satu titik ada stalagtit dan stalagmit yang tembus sampai ke dasar gua hingga membentuk seperti pilar. Di bagian gua ini juga terdapat titik untuk melompat dari ketinggian.
Selain menggunakan perahu kecil, kita juga bisa berenang dalam gua. Bisa dengan body rafting, atau snorkeling untuk merasakan segarnya air laut.
Untuk menuju gua keramat ini, saya sarankan Anda menggunakan pemandu lokal (masyarakat adat) yang paham betul kondisi laut dan lokasi menuju gua ini.
Selama berpakansi ke gua keramat ini diusahakan selalu menjaga kesopanan, baik pakaian maupun perkataan. Kunci menelusuri dan menyelami gua makam keramat ini adalah dengan hati yang bersih. Dengan hati dan niat seperti itu Anda dipastikan berjumpa dengan pengalaman perjalanan indah dan mistikal. Untuk sampai ke gua keramat dibutuhkan waktu 1 jam 20 menit dengan bertolak dari Desa Harapan Jaya, Misool Timur Selatan.
GUA TENGKORAK; JEJAK MASA LALU
Dari Tomolol, speadboot kami menuju Pulau Sunmalelen. Pulau larangan. Demikian masyarakat setempat menyebut pulau ini. Jarak dari Tomolol ke Sunmalelen hanya butuh waktu 30 menit.
Sunmalelen dalam bahasa Misool berarti tempat terlarang. Entah mengapa leluhur mereka menamai pulau ini dengan nama “larangan”. Barangkali kata “Sunmalelen” disematkan karena di pulau ini ada banyak roh bergentayangan dari mayat-mayat manusia yang tergeletak pada gua-gua dan ceruk-ceruk tebing yang menjorok.
Sepanjang perjalanan menuju pulau ini, tak sudah-sudah saya berdecak kagum. Di kanan-kiri yang kami lewati adalah tebing-tebing megalitik dengan beragam rupa. Sementara speedboat kami membelah perairan laut yang bening dan tenang. Kami seolah-olah berjalan di atas hamparan taman kerajaan di atas laut di masa megalitikum yang penuh misteri.
Saya tersadarkan ketika pemandu kami menepikan speedboat dan menambatkan tambang pada salah satu bebatuan tebing tinggi.
“Mari kita naik ke tebing itu,” ucap pemandu kami memberikan arahan. Saya bersama tim lainnya satu persatu memanjat tebing, memasuki ceruk tebing yang menganga.
Dan apa yang kami lihat? Puluhan tulang tengkorak manusia berserakan, mulai dari wajah, geraham gigi, kepala, kaki, tangan, dan beragam tulang lainnya yang tak bisa lagi dikenali.
Saya pandangi tulang-tulang itu secara cermat. Pada ceruk pertama ini terdapat 32 tulang tengkorak. Dari ceruk tebing, kami melangkah pada terowongan tebing yang lebih dalam (gua kecil). Pada gua kecil ada kurang lebih 51 tulang yang berbentuk kerangka manusia, yang sebagian tulangnya sudah remuk.
Menurut pemandu kami, jumlah tulang-belulang kerangka manusia saat ini sudah mulai berkurang. Si pemandu tidak tahu pasti ke mana raibnya tulang-tulang tengkorak itu.
Pikiran saya mulai bergentayangan ke dalam satu ceruk sejarah peradaban Kepulauan Misool pada ratusan tahun silam.
Tulang tengkorak yang berserakan di ceruk-ceruk tebing itu adalah bukti bahwa pernah ada gerak kehidupan masa silam di sini, di dalam gua-gua di tengah perairan Misool yang berbatasan langsung dengan Pulau Seram, yang dahulu merupakan titik penghubung antara dua pulau, yaitu Papua dan Maluku.
Dari penuturan lisan para kamitua, ada banyak versi penjelasan tentang keberadaan tulang-tulang tengkorak itu. Sebagian dari mereka menyakini bahwa saat suku Matbat—penduduk asli Misool—masih mendiami pegunungan-pegunungan, gua-gua di tengah perairan laut itu menjadi tempat tahanan suku lain yang memasuki wilayah perairan Misool. Mereka ditangkap dan ditahan dalam gua sampai mati.
Versi lisan lain mengatakan, tulang-tulang tengkorak itu adalah sisa dari mayat-mayat dari pertempuran laut antarsuku, para bajak laut, dan orang-orang asing yang memasuki perairan Misool yang berhasil dijarah dan dibunuh oleh suku-suku yang hidup di perairan Misool dan mayatnya dilempar ke ceruk-ceruk tebing.
Penuturan lisan dari para kamitua yang diceritakan kepada kami itu ada benarnya. Sebab dalam dua buku, yakni Pemberontakan Nuku, Persekutuan Lintas Budaya di Maluku Papua Sekitar 1780-1810 karya Muridan Widjojo dan Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962 karya Rosmaida Siaga, diceritakan bahwa Misool, selain menjadi salah satu pusat kerajaan Raja Ampat, juga menjadi jalur perdagangan dan benteng pertahanan para penyamun dan pemberontak dari Papua.
Itulah sebabnya perairan Misool sering menjadi gelanggang pertempuran air antarsuku, serangan penjarahan dan perompakan yang mengakibatkan kematian banyak orang.
Adriaen van der Dussen menyebutkan dalam suratnya pada 24 Desember 1610, mayoritas pelaku penjarahan dan perompakan ini berasal dari Halmahera Tenggara (Weda dan Patani) dan Raja Ampat (Misool dan Salawati), juga dari Onin yang kerap beroperasi di bawah komando Raja Misool. Mereka berkeliaran di perairan Misool, Seram, Kei, Aru, dan Banda. Mereka tersohor karena kecepatan kapal-kapalnya dan serangan mereka yang tiba-tiba dengan keahlian menggunakan senjata seperti panah dan tombak.
Adapun Van der Leeden (1980) menyebutkan bahwa di Misool terdapat empat wilayah adat yang sungguh-sungguh diakui dengan mitologi Matbat yang mendasari kelompok etnik secara keseluruhan. Keempat wilayah adat tersebut adalah Waigama, Lilinta, Gamta, dan Fafanlap. Wilayah yang terakhir itulah yang diyakini sebagai wilayah adat dan menjadi tempat bagi kapitan laut Misool.
Beberapa nama kerap dinisbahkan untuk menyebut Pulau Misool ini. Dua di antaranya adalah “Batan Me” dan “Batan Msool”. Kata “Batan “berasal dari bahasa Maya yang berarti daratan, sementara kata “Me” adalah sebutan untuk penduduk asli, yaitu Matbat. Dalam bahasa Maya, Matbat berarti orang tanah atau tuan tanah. Sedangkan kata Misool berasal dari kata Umwasol, yang berarti rumah berlabuh, yang juga menjadi penyebutan identitas suku, yaitu suku Misool.
Orang-orang Matbat—suku asli Pulau Misool—mulanya tinggal di pegunungan dan pedalaman. Mereka diperkirakan baru turun dan membuat perkampungan di wilayah pesisir pada masa pemerintahan Belanda sekitar tahun 1940 hingga 1950. Saat ini bila diamati, sebagian besar etnis Matbat mendiami bagian selatan dan timur Pulau Misool. Sebut saja Kampung Folley, Tomolol, Kafopop, Fafanlap, Yellu, Gamta, Magey, dan Kapatcol. Di bagian utara terdapat Kampung Aduwei, Salaven, Atkari, dan Lenmalas.
Dalam sejarah demografi, migrasi suku Misool sudah berlangsung lebih dari satu abad dan mengalami percampuran etnis sedemikian rupa sehingga membentuk suatu komunitas suku dengan identitasnya sendiri.
Mereka diperkirakan berasal dari Pulau Waigeo yang oleh beberapa ahli disebut dengan kelompok suku Maya, baik penduduk maupun bahasanya. Tetapi, mereka juga telah mengalami percampuran dengan kelompok suku dari Kepulauan Maluku, seperti Seram, Tobelo, Tidore, dan Ternate. Hal ini dapat dilihat dari penampakan fisik penduduk suku ini, dan juga dari sejarah suku Misool sendiri. Orang Matbat memanggil orang dari suku Misool dengan sebutan Mat Lou, yang berarti ”orang pantai”.
Apalagi secara hitoriografi Raja Ampat merupakan wilayah empat kerajaan di wilayah barat Pulau Nugini dengan sebutan Kalana Fat. Nama itu diambil dari asal-usul penduduk yang menghuninya, yang bermula dari perpecahan pemimpin adatnya.
Para pemimpin adat penduduk wilayah ini sepakat bahwa Waigeo merupakan asal orang tua mereka, yaitu Gurabesi yang menikahi seorang putri Tidore yang bernama Boki Taibah. Gurabesi menerima gelar raja dari Sultan Tidore.
Dari perkawinan Gurabesi dan Boki Tabiah lahirlah empat orang putra yang kemudian menjadi empat raja, yaitu raja Waigeo, Salawati, Waigama, dan Misool (Clercq, 1893: 165)
Sistem pemerintahaan tradisional yang bersifat kerajaan di Kepulauan Raja Ampat ini telah berlangsung berabad-abad lamanya sebelum Belanda menancapkan kekuasaannya. Penduduk lokal Papua telah menjalin hubungan dengan penduduk dari wilayah barat Nusantara.
Saat kerajaan Sriwijaya menjadi kekuatan imperium Asia Tenggara abad ke-7 burung cenderawasih dari Papua sudah dijadikan sebagai salah satu cinderamata Raja Paduka Sri Indrawarman untuk dipersembahkan kepada kaisar Cina. Buku Tse-fu-yuan-kuei (1005-1013M) yang disusun Wang Chin-jo dan Yang I menguaraikan bahwa utusan dari Sriwijaya datang ke Cina pada tahun 702 dan 716 M dengan mempersembahkan burung cenderawasih. (Muljana, 2006: 166)
Dari sinilah burung cenderawasih dari Papua dikenal sebagai komoditas yang diperdagangakan ke Pulau Jawa. Seiring dengan makin dikenalnya komoditas dari Papua, pada periode yang sama ditemukan beberapa barang mewah berupa keramik di masyarakat Papua. Hal ini yang mengindikasikan mulai adanya kontak terbatas dan pertukaran komoditas pada abad ke-12 hingga 13. Temuan keramik dalam periode ini menandai munculnya pelabuhan di pesisir barat daya Papua.
Onim menjadi pelabuhan niaga pesisir paling penting di Papua pada abad 14 M. Dari sumber sejarah diketahui bahwa kapal dagang yang singgah di Onim (Fak-fak) kemudian melanjutkan pelayarannya ke pulau-pulau, antara lain Sulu, Magindanau, Zamboanga, dan Luzon. Dari pelabuhan itulah kontak niaga pedagang dari luar berlangsung hingga masa kolonial, yakni antara Papua dengan Maluku.
Dalam perkembangannya kemudian, sejak abad pertengahan hingga masa kolonial, secara perlahan muncul dermaga lainnya, di antaranya terdapat di Onim, Kampung Kowia, Namatota, Salawati, Waigeo, Misool, dan Mansinam. (Alhaddan, 1995: 32)
Sumber sejarah pertama yang memberikan bukti adanya hubungan penduduk lokal Papua dengan penduduk jauh hingga ke wilayah Barat Nusantara itu terdapat dalam kitab Negara Krtagama yang ditulis pujangga keraton Mpu Prapanca untuk Raja Hayam Wuruk dari Majapahit.
“Ikan sakasanusanusa Makassar Butun Banggawai
Kuni Ggalihoa mwang I (ng) Salaya Sumba solot Muar
Muwah tigang I Wandan Ambwan athama Maloko Wwanin
Ri Sran Timur ning angeka nusatutur”.
Dalam kakawin yang ditulis pada 1365 itu disebutkan nama-nama tempat di Pulau Nugini bagian barat yang dianggap masuk dalam wilayah kekuasaan negara-nusa Majapahit, seperti Wwanin (sama dengan Onin dekat Fak-Fak), Sran (sama dengan Kowiai, nama tempat yang letaknya dekat Kaimana), dan Wandan (suatu tempat di Pulau Nugini).
(Koentjaraningrat-Harsja W. Bachtiar, 1963:5; Mansoben, 1995:69)
Catatan perjalanan Pigafetta, seorang pelaut Portugis, pada tahun 1521 juga terdapat keterangan bahwa raja Papua berdiam di Pulau Gilolo (Jailolo, sekarang Halmahera). Pelancong itu memperkirakaan bahwa nama Kepulauan Papua kemungkinan merujuk pada Raja Ampat yang disebutkan untuk pertama kalinya dalam jurnal seseorang berkebangsaan Spanyol bernama Martin de Uriarte pada 1527.
Dalam catatan itu ia mendeskripsikan Kepulauan Raja Ampat sebagai kepulauan pegunungan yang terletak antara Maluku Utara dan daratan utama Papua Barat. Dari pulau-pulau utamanya hanya Salawati dan Batanta yang terletak cukup dekat dengan daratan utama. Jarak lebih jauh dari daratan utama memisahkan pulau-pulau ini; Waigeo ke utara dan Misool ke selatan.
Di kepulauan ini terdapat empat kerajaan kecil yang diperintah empat Raja: Salawati, Waigeo, Misool, dan Waigama.
Kerajaan Salawati terletak di bagian tenggara dan barat daya pulau, dikelilingi begitu banyak pulau kecil dan terumbu karang. Raja Salawati tinggal di permukiman terpisah. Lokasinya di sisi berseberangan dari sebuah sungai besar yang mengalir di bagian tenggara pulau.
Waigeo adalah pulau terbesar di Kepuluan Raja Ampat yang dihiasi banyak teluk. Raja Waigeo hidup di sisi tenggara pulau di permukiman Kabilol (Teluk Mayalibit). Seperti di Salawati, permukiman dibangun di sepanjang sungai besar, tetapi permukiman Raja Waigeo terletak di dekat sebuah danau yang dikelilingi tebing-tebing curam. Pada danau yang dikelilingi tebing curam itu terdapat sebidang tanah datar yang menjorok ke air.
Sementara itu Misool terdiri dari pulau-pulau dan terumbu karang. Keliling luasnya lebih kurang 64 km. Pulau ini dibagi menjadi Kerajaan Misool dan Waigama. Kerajaan Misool berada di sisi timur, di ujung terjauh daratan dari sebuah teluk. Tepat di sebelah permukiman raja terdapat Kapitan Laut. Kedua pemimpin ini menjadi pemimpin tertinggi yang dapat mengumpulkan 300 orang siap tempur. Sebagian besar penduduknya mempertahankan kepercayaan lokal.
Mereka hidup di pedalaman atau di pegunungan. Mereka mengakui secara mutlak kepemimpinan kaum Muslim yang tinggal di rumah-rumah panggung di tepi pantai.
Sementara permukiman Raja Waigama terletak di bagian barat laut pulau. Permukiman ini kemudian dipindahkan ke selatan. Seperti halnya penduduk Misool, penduduk Waigama dibagi menjadi rakyat Raja dan rakyat Kapitan Laut. Bersama-sama mereka bisa mengumpulkan kekuatan tempur sebanyak 500-600 orang.
Pohon-pohon buah di Misool tidak banyak. Makanan utama penduduk adalah sagu. Produk-produk lainnya yang membuat daerah ini dianggap penting secara ekonomi adalah hasil lautnya seperti teripang, penyu, dan ambergris. Zat lilin abu-abu/hitam dari benih ikan paus ini umumnya ditemukan terapung di laut atau terdampar di pantai dan digunakan untuk pengharum dan rempah-rempah. Persediaan air di tanah ini pun sangat baik dan memiliki dermaga perahu lebih dari layak.
Misool juga menjadi kawasan pengekspor pala, kayu masoi, cendana, damar, kulit penyu, sirip hiu, kerang mutiara, kulit buaya sejak abad ke-20. Sebaliknya, Misool dan Kepulauan Raja Ampat mengimpor manik-manik, keramik, kain timor, peralatan besi, pangan, dan ragam jenis senjata untuk pertanian dan penangkapan ikan lainnya.
Banyaknya permintaan atas teripang dan penyu menyebabkan kepulauan Misool menjadi hotspot favorit bagi saudagar-saudagar dari Seram Timur, Tidore, dan Ternate. Para pedagang melakukan barter dengan penduduk lokal Misool. Barang dagangan yang dipertukarkan adalah gelang besi putih, aneka piring, dan guci dari porselen, serta kain Timor yang ditukar dengan teripang, penyu, dan sagu.
Para pedagang itu biasanya menetap untuk sementara waktu di lokasi dagang mereka, dan menunggu sampai barang daganganya habis terjual atau menunggu angin musim. Selama tinggal di daerah tersebut, kerap di antara mereka menikah dengan penduduk setempat. Perkawinan campur itu melahirkan anak- anak yang tidak memiliki tipe khusus, seperti umumnya penduduk asli Papua yang berambut keriting dengan pigmen kulit hitam. Umumnya kulit mereka agak terang dan berambut ikal atau bahkan lurus. Percampuran itu juga menyebabkan banyak dari penduduk Misool menganut agama Islam. (Stibbe, 1919: 35)
Sebelum Malaka jatuh ke tangan Portugis, kerajaan-kerajaan di kawasan Barat Papua (Waigeo, Salawati, Misool, Waigama, dan Maluku), Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo mencapai kejayaannya. Pada mulanya, Kerajaan Wagama dan Misool merupakan bagian kekuasaan Kesultanan Bacan. Pada abad XVII Tidore berhasil mengalahkan Bacan hingga kedua daerah tersebut kemudian dikuasai Tidore.
Hubungan antara Tidore dan Raja Ampat kian intensif sejak VOC memperkuat kedudukan Tidore melalui perjanjian di tahun 1660 dan 1667. Perjanjian itu mengatur hak- hak Tidore atas penduduk dan wilayah Papua dan semua pulau di sekitarya atas wilayah itu, dan mewajibkan penduduk Raja Ampat untuk menyetor upeti berupa hasil-hasil bumi dan budak kepada Sultan Tidore.
Melalui utusannya Sultan Tidore mengangkat kepala-kepala adat di wilayah Kepulauan Raja Ampat untuk mengumpulkan upeti. Sebagai balasannya, Sultan Tidore menganugerahkan gelar-gelar kehormatan. Kedaulatan Tidore atas wilayah Nugini hanya sebatas kewajiban penduduk Papua untuk membayar upeti, yang kadang dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Dalam menanamkan pengaruhnya atas penduduk Nugini, Sultan Tidore mendapatkan bantuan dari Belanda dengan mengerahkan kekuatan bersenjata untuk menimbulkan teror dan ketakutan penduduk. Berulang kali Tidore mengirimkan armada hongi untuk mengajukan tuntutan lebih tinggi dalam bentuk hasil bumi atau budak, mengingat Misool dan kepulauan lainnya di Raja Ampat merupakan mata rantai penting dalam pelayaran perdagangan antara Maluku dan Papua.
Namun, tidak semua tuntutan itu dipenuhi oleh penduduk wilayah Papua dan para raja di Kepuluan Raja Ampat, khususnya penguasa kerajaan Salawati, Misool, dan Gamrange. Penguasa terkemuka Gamrange, Sangaji Patani, misalnya, berani memobilisasi mayoritas penduduk Maba, Patani, dan orang-orang Raja Ampat untuk menolak mengirimkan upeti tahunannya dan melakukan pemberontakan dengan merompak armada-armada kerajaan Tidore dan Belanda.
Ketika pangeran Nuku dari Tidore melakukan pemberontakan pada Belanda pada tahun 1780, peran empat kerajaan di Raja Ampat beserta perompak-perompaknya, khususnya Salawati dan Misool, cukup besar.
Kerajaan-kerajaan sekutu itu memperkuat pasukan pemberontakan Pangeran Nuku dalam bertempur melawan tiga sekutu VOC Belanda di Maluku: Ternate, Ambon, dan Banda, yang akhirnya dimenangkan Nuku.
Bahkan, Salawati dan Misool menjadi salah satu tempat persembunyian dan benteng pertahanan Pangeran Nuku dalam menyusun pemberontakan. Karena secara geografis, perairan Misool sulit ditembus dan ditaklukkan oleh musuh. Siapa pun lawan yang masuk ke tengah perairan laut Misool, jarang sekali bisa keluar dengan selamat.
Selain karena para lamun bisa menyerang tiba-tiba dan merampas harta bawaan, angin perairan laut Misool ganas dan berbahaya yang menimbulkan kesulitan gerak.
Alfred Russel Wallace dalam buku magnum opus-nya, The Malay Archipelago (1869), juga menceritakan kegagalan pelayarannya menuju Misool dari Seram, yang hanya berjarak 40 mil, karena kondisi laut dan cuaca yang tak menentu. Ia menceritakan bahwa laut Misool yang mulanya tenang tiba-tiba menjadi ganas. Arus kencang membawa perahu menjauh dari kepulauan Misool. Perahunya terjebak dalam arus yang berbahaya.
Angin dan arus inilah yang menerbitkan rasa putus asa para pelaut. Selama beberapa menit, para awak mencoba sekuat tenaga mengarahkan perahu ke bagian perairan Kanary yang terlindungi dari angin. Namun, perahu tetap terseret ke laut lepas sehingga perahu tidak mungkin mencapai Misool.
Catatan-catatan perjalanan Belanda abad ke-17 juga mengungkapkan iklim, angin, dan cuaca di Misool dan perairan Raja Ampat di sekitarnya. Paling kurang 13 ekspedisi diluncurkan Belanda ke daerah-daerah di sekitar pesisir barat daya Papua dan mereka selalu menghadapi badai ganas dan hujan tropis yang tiada habisnya. Dari 13 ekspedisi itu, delapan ekpedisi menjadi korban serangan perompak.
Banyak yang terluka dan tewas di tengah perairan Misool. Nah, barangkali saja tulang-tulang tengkorak di Pulau Sunmalelen ini merupakan sisa dari jejak-jejak pertempuran di masa lalu itu.
Tertarik mengunjungi “pulau larangan” dengan pesona sejarah dan ketakjuban melintasi batu-batu purba di atas laut hijau yang tenang ini? Jarak tempuh dari Kampung Harapan Jaya, Misool Timur Selatan, hanya butuh 1 jam 20 menit dengan speedboat.
LUKISAN CADAS PURBA,
EKSPRESI KOMUNIKASI MASA LALU
Gambar-gambar cadas berwarna merah pada beberapa tebing serupa relief di luar gua tengkorak Sunmalelen, Misol Timur Selatan itu membentuk formasi serupa gambar tangan wanita dengan jemari-jemari yang lentik. Juga terdapat gambar fauna laut seperti tuna, hiu, lumba-lumba, tongkat, beberapa kano, dan gambar-gambar abstrak yang tumpang tindih serta garis dan warna yang menyimbolkan kesuburan.
Di pucuk batu karang yang terjal sekilas kami melihat gambar cadas dengan formasi abstrak. Namun, gambar-gambar cadas itu mulai terlihat jelas bentuknya ketika speedboat kami mengarah pada tebing-tebing menuju gua tengkorak.
Beragam formasi relief cadas merah raksasa itu memancing pikiran saya kembali menari dengan ragam tanya: adakah masa depan dalam rahim masa lalu? Siapakah seniman pahat yang telah menggoreskan gambar-gambar itu pada tebing-tebing ini? Apa makna dari simbol berbagai lukisan itu?
Dalam arkeologi, guratan gambar yang umumnya dikenal sebagai relief di atas bebatuan bukanlah suatu perupaan yang dibuat asal indah. Setiap gambar cadas yang dibuat atau dilukis memiliki maksud, aturan, dan perhitungan tertentu. Apa yang digambar berkaitan dengan informasi tentang pedoman, kejadian, atau berhubungan dengan ritus tertentu. Gambar cadas biasanya dibuat untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang khas, sesuatu yang dipuja dan dihormati.
Di Indonesia, menurut penelitian Pusat Arkeologi Nasional, kaya dengan gambar cadas tersebut. Keragaman gambar cadas di Indonesia mampu merepresentasikan perkembangan gambar dari berbagai masyarakat. Salah satu gambar cadas Indonesia yang mengejutkan dunia adalah gambar cadas tangan di Leang Timpuseng, Maros, Sulawesi, yang dinyatakan berusia hampir 40 ribu tahun. Dengan usia itu, gambar tangan di Maros Sulawesi menjadi gambar cadas tertua di dunia, dan ini menjadi bantahan ilmiah bahwa gambar cadas hanya berkembang di Eropa. Para ilmuwan beranggapan bahwa kemampuan kreatif manusia mungkin telah muncul sejak sebelum migrasi keluar Afrika.
Di Misool, gambar-gambar cadas kuno ditemukan lebih dari 1.000 yang tersebar di 60-an situs. Gambar cadas itu pertama kali ditemukan para penyelam yang kemudian memberi informasi kepada lebih dari informasi kepada Jean-Michel Chazine dari French National Centre for Scientific Research( NCSR-France 1998). Penemuan itu baru diumumkan Chazine dalam Kongres Arkeologi Dunia di Yordania pada 13 hingga 18 Januari 2013 bahwa Papua Barat merupakan surge kecil bagi dunia arkeologi.
Pusat Arkeologi Nasional melakukan penelitian secara mendalam tentang jejak prasejarah di sekitar Misool Selatan pada tahun 2014 hingga 2016. Gambar-gambar cadas yang ditemukan di Misool ini memiliki karakter yang hampir sama dengan gambar-gambar cadas di Pulau Seram, Maluku, dan Teluk Berau yang berjarak sekitar 200 kilometer dari Misool. Ciri dari gambar itu antara lain membentuk formasi ikan, teripang, cumi-cumi, ubur-ubur, udang, kuda laut, manta, penyu, tulang ikan, kepala ikan, ekor ikan, kapal, perahu, tangan, kadal, ular, unggas, burung, bumerang, drum, tombak, panah, kapak, busur, tangan, dan gambar-gambar geometris.
Balai Penelitian Arkeologi di Jayapura menyebutkan temuan gambar-gambar cadas di Misool ini mengindikasikan kehadiran bangsa penutur bahasa Austronesia, sekaligus menjadi bukti bahwa Misool pernah menjadi lintasan perdagangan Eropa dan daerah-daerah Asia lainnya yang berlangsung pada masa yang jauh.
Arkeolog Peter Bellwood dari Australian National University di Canberra dan arkeolog Daud Tanudirjo dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, mengamini kesimpulan itu. Bahwa di sekitar Kepulauan Raja Ampat, diduga sempat terjadi interaksi budaya antara penutur Austronesia dan kelompok manusia prasejarah ras Australomelanesia yang terlebih dulu tiba di Papua sejak 60 ribu tahun silam.
GOA PUTRI TERMENUNG, SITUS GOA FOSIL
Tak ada keterangan apa pun ketika kami sampai pada gua putri termenung di Pulau Lenmakana, Misool Timur Selatan ini.
“Kita sudah sampai lokasi gua putri termenung,” ucap pemandu sembari menepikan speedboat pada pantai berpasir putih yang di kelilingi pulau-pulau kapur di sekelilingnya.
Kami pun segera turun ke pantai dan masuk pada daratan kecil yang ditumbuhi aneka pepohanan. “Di mana letak gua itu?” tanya saya karena dari arah pantai tidak terlihat tanda-tanda terdapat gua di sekitarnya.
“Kita masuk pintu gua lewat atas tebing itu,” ucap pemandu menunjuk tebing bebatuan yang tingginya mencapai 6 meter.
Dengan hati-hati kami memanjat tebing, dan akhirnya sampai pada pintu gua yang sempit. Sebelum memasuki pintu gua, pemandu kami membaca mantra dengan bahasa lokal dan menyarankan kami meletakkan beberapa batang rokok sebagai sesajen di kanan-kiri pintu gua.
Di daerah pedalaman seperti halnya Pulau Misool, masyarakat lokal umumnya masih memiliki hubungan dekat dengan alam. Mereka kerap melakukan ritual sesajen atau upcara adat untuk menghormati makhluk hidup di sekelilingnya. Tradisi-tradisi itu sesungguhnya mempunyai fungsi agar masyarakat tetap menjaga hutan, air, tanah, dan segala kekayaan di muka bumi. Ritus-ritus itu adalah bahasa kebudayaan yang diwariskan leluhur untuk memelihara dan menjaga bumi, sebuah planet mukim manusia untuk hidup berkeadaban. Karena mereka percaya bahwa alam raya ini tidak hanya dihuni manusia, tetapi juga ada makhluk lain yang hidup berdampingan dengan manusia.
“Gua putri termenung ini memiliki dua rongga mulut gua. Mulut gua pertama yang akan kita lewati ini lumayan besar, namun tidak dalam. Panjangnya sekitar 30-an meter. Jalannya harus hati-hati karena di dalam gua sangat gelap dan banyak stalaktit. Jadi, kita berjalan agak sedikit merunduk,” saran pemandu sebelum kami memasuki gua pertama menuju gua kedua, gua putri termenung.
Saat menyusuri lorong gua, kami hampir tidak bisa melihat pemandangan di sekeliling karena suasana dalam gua sangat gelap dan geraknya pun sempit. Cahaya penerang hanya bersumber dari senter yang kami bawa. Bias-bias cahaya matahari baru terlihat ketika kami sudah mendekati pintu keluar gua. Dari pintu keluar gua pertama itu, mata kami langsung melihat pintu gua yang menganga lebar. Gua inilah yang disebut dengan gua putri termenung oleh penduduk Misool.
Meski telah menjadi spot wisata di Misool Timur Selatan, tetapi tidak semua masyarakat Misool mengetahui lokasi keberadaan gua ini. Menurut Nawawi, salah satu pemandu kami, penemuan gua ini berasal cerita para kamitua.
Mereka bercerita bahwa di tanah besar Batanme di Pulau Lenmakana terdapat gua yang dulunya menjadi tempat persembunyian Belanda dari kejaran pasukan Jepang saat Perang Pasifik berkecamuk pada 1941. Tentara Jepang saat itu tidak banyak mengalami kesulitan merebut Indonesia dari kekuasaan Belanda. Mereka menguasai Indonesia dari Kepulauan Maluku melalui Morotai dan dari timur pulau Misool.
Cerita para kamitua tua itu kemudian dilacak kebenarannya oleh beberapa perangkat kampung, salah satunya adalah Nawawi. Mereka mencari keberadaan gua pada celah-celah tebing. Dan saat pertama kali ditemukan, gua ini menjadi pusat koloni burung. Ratusan burung sriti berkembang biak, bertelur, dan beranak-pinak. Sarangnya menggantung rendah di langit-langit gua.
Pada tahun 2010, The Nature Conservancy (TNC) melakukan survei ke dalam gua bersama masyarakat Misool. Mereka menyimpulkan bahwa gua ini adalah salah satu situs goa fosil karena tidak ada aliran air. Kering. Hanya ada beberapa tetesan calcite yang masih menunjukkan gejala karstifikasinya. Ornament stalagmit dan stalaktit sangat indah dan beragam. Pada dinding gua juga terlihat bentuk helectit mutiara gua, dan juga beberapa batu yang menyala seperti kristal.
Ketika kami berada dalam gua, selain melihat lorong-lorong bertingkat, terdapat pula, aha, karts stalakmit yang menyerupai seorang putri berambut panjang terurai dengan posisi termenung. Karena itulah gua ini dinamai “Puteri Termenung”.
Stalagmit dan stalaktit dalam gua ini memang mampu membangkitkan tarian imajinasi di panggung kepala. Seperti ketika saya memandangi karts stalakmit berwarna putih menyerupai seorang perempuan duduk termenung di tengah gua itu, saya seperti melihat patung berpikir abad ke-19 karya Auguste Rodin, pematung asal Yunani.
Seperti halnya patung Rodin dan patung sang puteri, gua ini sunyi dan hening. Saya hanya mendengar derau angin yang lirih menggerakkan dedaunan, yang sekali-kali menjadi musik latar dalam kebisuan gua. Dan di tengah kesunyian dan kebisuan gua itu, pori-pori kulit saya seakan merekam suara gaib bahwa dalam gua ini pernah ada kehidupan yang umurnya sudah ratusan tahun.
Demikianlah, perjalanan ke gua-gua di bentang alam Pulau Misool bukanlah pakansi biasa. Secara terbuka kita bisa menyaksikan batu-batu purba berkapur dengan kondisi vegetasi yang rapat dan didukung oleh kondisi klimatologis, geomorfologi kawasan karst yang memanjang, curah hujan tinggi dan hembusan angin kuat yang berpotensi membentuk sistem perguaan.
Gua keramat, gua tengkorak, gua putri termenung, dan aneka corak gambar bercat merah pada dinding-dinding tebing di Pulau Misool merupakan situs-situs arekeologi yang penting untuk dipelajari. Sebab, keberadaan gua-gua itu menjadi bukti dan pernyataan yang diberikan alam bahwa pada masa yang jauh pernah ada kehidupan yang kemudian menjadi tali-pusar dari mana masa kini berasal.