Word: Ayu Arman
Bagian kedua dari CAMBA-CAMBANG
Kami segera menjelajahi pulau ini dari sudut ke sudut. Pulau yang luasnya lebih kurang empat hektar ini berdiri segala fasilitas bangunan modern. Dari dermaga tempat spead boat kami bersandar, terlihat vila-vila berwarna merah hati berjejer rapi, mengapung di atas permukaan laut, dilengkapi taman yang dipenuhi pepohanan yang rindang dan bangunan gazebo di sana-sini. Terdapat pula kafe dan pos layanan kesehatan.
Sebuah gedung olah raga dan ruang serbaguna juga terpacak megah di pulau ini. Gedung serbaguna ini disewakan kepada siapa saja yang mengadakan acara pelatihan atau serangkaian rapat. Jangan khawatir, fasilitas ibadat keagamaan seperti masjid berdiri megah tepat di ujung pulau. Dari masjid inilah titik yang paling indah untuk menikmati tenggelamnya matahari (sunset) di laut Makassar. Anda bisa pula menyaksikan serombongan burung camar terbang ke sana kemari memburu ikan-ikan yang sedang naik ke permukaan air Camba-Cambang. Pemandangan ini berlangsung hampir setiap saat.
Pulau Camba-Cambang atau dikenal dengan sebutan “CbCb Island” ini serupa perumahaan mewah di tengah kepungan laut biru dengan beragam hiburan. Mulai dari banana boat, jetski, outbound, dan wahana water boom yang langsung berhubungan dengan laut.
Pulau Camba-Cambang bukan sekadar sebagai tempat hiburan bagi masyarakat Kepulauan Spermonde. Ia adalah gerbang wisata dan pusat informasi untuk mengoptimalkan pengembangan pulau-pulau kecil di Gugusan Kepulauan Spermonde Kabupaten Pangkep. Letak pulau ini berada di tengah dua gugusan kepulauan, yang pada zaman kerajaan Gowa dan Tallo, menjadi batas wilayah dari kedua kerajaan tersebut.
Bila kita berdiri menghadap barat atau sebelah kanan pulau Camba-Cambang, terlihat pulau-pulau yang namanya berawalan “sa”. Sebut saja Saugi, Satando, Salemo, Sagara, Sabangko, Sakuala, Sapuli, Sabuntung, Samatellu Pedda, Sapuka, dan Sallebbo, yang dulunya merupakan wilayah Kerajaan Tallo.
Apabila Anda melihat di sisi kiri, tampak gugusan pulau-pulau berawal “po”, antara lain Polo Kolambing, Polo Laiyya, Polo Wali, Polo Pala, Polo Badi, dan Po Ranrang. Pulau-pulau itu masuk wilayah Kerajaan Gowa.
Baik “sa” dan “po” yang masing-masing dibagi rata oleh Tallo dan Gowa, kini semuanya masuk dalam kawasan Kepulauan Spermonde.
Sebagai pintu gerbang wisata, kepulauan ini didukung sembilan pulau sebagai destinasi wisata dengan menawarkan keindahan alam bawah laut dan budaya pesisir masyarakat Kepulauan Spermonde.
Dalam lima tahun terakhir ini, Pulau Camba-Cambang telah menarik banyak pengunjung. Setiap hari, khusus Sabtu dan Minggu, masyarakat kepulauan atau pun masyarakat Kota Pangkep, banyak menghabiskan liburan di pulau ini. Para wisatawan lokal dan mancanegara juga telah banyak menginap di pulau ini ketika mereka ingin menikmati pemandangan pulau-pulau Spermonde di sekelilingnya.
Sebelum pulau ini dibangun Pemerintah Daerah Pangkajene Kepulauan pada 2012, pulau ini sungguh sepi dan nyaris tak disingahi masyarakat.
Menurut beberapa masyarakat di Pulau Saugi, konon di pulau ini terdapat kepala Andi Mappe, pahlawan Pangkep yang dibenamkan dalam tanah oleh Belanda.
Andi Mappe adalah seorang pejuang berdarah Bugis yang dikenal gigih dan sakti melawan dan mengusir pasukan Belanda dari tanah Sulawesi Selatan pada 1945-1949. Ia adalah ikon perjuangan gerilyawan dan menjadi momok yang menakutkan bagi pasukan Belanda karena tak bisa ditaklukan oleh senjata sekalipun.
Dalam cerita lisan yang beredar, peluru Belanda seringkali menembus dadanya. Tetapi, peluru-peluru itu tak mampu melenyapkan nyawanya. Bahkan, beberapa kali dikabarkan, Belanda telah berhasil membunuhnya, tetapi esoknya ia terlihat segar kembali. Pasukan Belanda sempat frustasi oleh kesaktian dan ketangguhan kapten dari gerilyawan Harimau Indonesia ini sehingga Belanda mencari titik kelemahannya.
Akhirnya, dengan kelihaian mata-mata Belanda, pada 25 Februari 1947, di Bonti/Padang Leangnge Distrik Balocci, Andi Mappe dikepung dua peleton pasukan Belanda dan sekutu pribuminya. Mereka menyerang gubuk pertahanan Andi Mappe selama tiga harmal dengan berondongan peluru yang akhirnya menewaskan banyak pasukan Harimau Indonesia. Termasuk di dalamnya Andi Mappe.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Andi Mappe menyemangati pasukannya yang tersisa dengan berkata, “Ulebbirangngi burue ala najajae Balandae, teasisena mitai Balandae. Nasaba iya sikomemeng tommi naeloreng Puang Allah Ta’ala. (Lebih baik saya ini mati berkalang tanah daripada dijajah Belanda. Saya tidak akan pernah rela melihat Belanda di sini. Saya ini sudah sampai waktunya dikehendaki Tuhan).
Salah seorang Belanda kemudian memenggal lehernya. Konon, inilah titik kelemahan Andi Mappe. Kepalanya harus dipenggal dan dipisahkan dari tubuhnya. Pasukan Belanda kemudian mengarak kepala Andi Mappe dan mempertontonkannya kepada penduduk di Maros, Pangkajene, Bungoro, dan Labakkang. Selanjutnya, kepala itu diseberangkan ke sebuah pulau yang tidak berpenghuni, tidak didiami manusia, dekat pesisir Maccini Baji, Labakkan.
Dari pesisir Maccini Baji, pulau yang tak berpenghuni, yang masih berupa gundukan pasir putih dan ditumbuhi pepohonan liar itu, terlihat dua pohon asam kembar yang tumbuh menjulang tinggi besar. Di bawah pohon asam inilah, menurut sahibul hikayat, kepala Andi Mappe dibenamkan. Sementara itu, tubuhnya ditimbun di daratan Pangkajene.
Kisah kesaktian dan keberanian Andi Mappe ini kemudian menjadi cerita turun-temurun di masyarakat Pangkajene Kepulauan dan Sulawesi Selatan hingga saat ini. Nama besarnya kini diabadikan sebagai nama stadion Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Beberapa pakaian dan senjata peninggalan Andi Mappe di masa-masa perjuangan kini tersimpan di Museum Karst Pangkep. Sayangnya, kedua pohon asam kembar itu telah tumbang akibat terjangan angin kencang pada 2008.
Di akhir 2012, ketika Pemerintah Daerah Pangkep memilih pulau yang berada di dua gugusan kepulauan berawal “sa” dan “po” ini sebagai kawasan wisata bahari yang dilengkapi dengan berbagai sarana dan fasilitas, nama Camba-Cambang kemudian disematkan.
Nama Camba-Cambang berasal dari bahasa Makassar, yang bermakna pohon asam yang berdampingan, yang bisa pula ditafsirkan sebagai pasangan suami-istri. Berawal dari situlah, pulau yang mulanya tak bernama dan tak berpenghuni ini memiliki sebuah nama. Sebagai pengingat asal-muasal, beberapa pohon asam telah ditanam kembali di sekitar pulau kecil ini, yang membawa keteduhan dan keindahan tersendiri bagi Camba-Cambang.