Word: Ayu Arman
Papua hari ini dan Papua dua belas tahun lalu, saat pertama kali saya menginjakkan kaki di pulau ini, tentu sangat berbeda. Baik suasana dan pembangunannya. Semua perubahaan itu sebagiannya terekam dalam ingatan saya.
Pada tahun 2009, berangkatlah saya menuju pulau di ujung Timur Indonesia untuk sebuah pekerjaan. Tepatnya, di kota Sorong-Papua Barat. Perjalanan saya dari Jakarta menuju Sorong ditempuh waktu 4 jam. Pesawat saya mendarat di bandara Udara Domine Eduard Osok di Kota Sorong, Papua Barat.
Saat kaki menginjakkan di bandara udara Domine Eduard Osok, bangunan bandara ini masih sangat jauh dari kelayakan sebuah bandara. Ruang tunggunya sangat kecil. Terbangun dari kayu. Bangunannya hanya seperti sebuah ruko yang memprihatinkan. Di sana-sini terdapat percikan ludah pinang.
Bandara udara Domine Eduard Osok ini merupakan pindahan dari bandara Jefman. Bandara pertama di Papua Barat. Pada tahun 2004, bandara ini dipindahkan ke daerah Remu Selatan kota Sorong dengan nama baru Domine Eduard Osok (DEO).
Domine Eduard Osok adalah seorang pendeta dari suku Moi. Ia adalah seorang guru yang membuka keterisolasian pendidikan serta menjadi narahubung bagi kelangsungan kesehatan ditengah masyarakat saat itu. Berkat dedikasinya itu, ia diangkat menjadi pendeta dan namanya berubah menjadi Domine Eduard Osok (DEO). Dan untuk meneladani sosoknya, namanya dijadikan nama bandara ini.
Karena pekerjaan saya banyak di wilayah Papua Barat, mata saya merekam pembangunan bandara DEO ini. Bandara ini mulai dibangun pada tahun 2011 hingga tahun 2015. Sehingga kini tampilan bandara udara DEO ini telah berubah menjadi bangunan yang megah dan modern, dengan bangunan terminal seperti buah pinang, dengan luas mencapai 13.700 meter persegi, dua lantai dengan ruang tunggu berkapasitas 750 orang.
Bandara ini memiliki landasan pacu (runway) dengan panjang 2.500 meter dan lebar 45 meter yang bisa didarati oleh pesawat berbadan lebar (wide body) dan pesawat propeller.
Dilengkapi dengan beragam fasilitas penunjang yang umumnya ada di bandara internasional. Ada pemasangan dua garbarata, ift dan escalator terminal, x-ray bagasi, metal detector, baggage handling system, kabin multi view. Toiletnya juga modern dan bersih. Desain interior terminal juga diperbarui sehingga bandara ini tidak kalah dengan bandara-bandara modern di kota-kota lain.
Saat ini pergerakan bandara DEO adalah bandara tersibuk dan terbesar di semenanjung kepala burung Papua. Tercatat ada 9000 lebih pergerakan pesawat per tahunnya. Sehingga pelayanan jasa transportasi udara di kota Sorong dan sekitarnya semakin meningkat.
Bandara DEO hanya salah satu bandara yang dibangun oleh pemerintah pusat di tanah Papua. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2018, Papua tercatat memiliki jumlah bandara terbanyak di Indonesia. Papua memiliki bandara 94. Papua Barat menempati posisi kedua dengan jumlah 23 bandara dan Maluku di posisi ketiga dengan jumlah 18 bandara.
Papua juga memiliki landasan pesawat terbanyak di Indonesia. Sedikitnya ada 362 landasan pesawat di Papua yang digunakan oleh maskapai penerbangan. Dan saat ini, ada empat bandara Internasional di Papua. Pertama, Bandara Frans Kaisiepo-di Kabupaten Biak. Bandara ini memiliki landasan pacu terpanjang keempat di Indonesia. Panjangnya mencapai 3,57 ribu meter dan dibangun di atas batu karang. Kedua, bandara Sentani di Kabupaten Jayapura, bandara Mozes kilangin di kabupaten Mimika dan bandara Mopah di Kabupaten Merauke. Sayangnya, keempat bandara Internasional itu belum difungsikan hingga kini.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, Papua menjadi wilayah yang mendapatkan prioritas dalam pembangunan infrastruktur, terutama bandara oleh pemerintah pusat. Mengapa? Karena bandara menjadi titik penting dalam membuka keterisolasian wilayah dan membuka koneksitas antar daerah di pulau papua dan luar Papua sehingga menghidupkan perekonomian masyarakat dan meningkatkan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia Papua.
Saya tidak hanya menyaksikan pembangunan infrastruktur transportasi udara, tetapi juga pembangunan jalan darat yang terus ditingkatkan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah Papua. Saya bersyukur pernah melintasi jalan darat dari Sorong ke Manokwari, yang melintasi tiga daerah Kabupaten, yaitu Kabupaten Sorong, Tambrauw dan Manokwari. Ketiga kabupaten ini kini telah terhubung dengan baik semenjak jalan darat dibuka dan dibangun jalan aspal. Sehingga sepanjang jalan darat itu kini bisa dilalui dengan mulus dan lancar dengan pemandangan laut, hutan dan pegunungan. Sekarang, masyarakat di Papua Barat, bisa bepergian dengan jalan darat kapan saja, siang atau malam, tidak ada lagi kesulitan. Perjalanan dari Sorong ke Fef–ibukota kabupaten Tambrauw– misalnya, yang dulu ditempuh satu minggu dengan mobil kini hanya lima jam saja.
Pada kesempatan perjalanan saya ke Kabupaten Tambrauw, saya sempat berbincang dengan kepala daerahnya, yaitu Bapak Gabriel Asem, yang selama sepuluh tahun kepemimpinannya sangat fokus pada pembangunan infrastruktur jalan. Saya mencatat dalam kepemimpinannya, dalam rentang sepuluh tahun, 2011 sampai 2021, telah membangun jalan-jalan yang tidak hanya menerobos ke Ibu Kota Fef, melainkan juga membangun jalan di garis pantai utara (pantura) dari Moraid hingga Kwoor dan juga akses gunung dari Moraid sampai Miyah. Sehingga, saat ini akses jalan yang membentang dari Mega, Sausapor, Fef, Miyah, dan Kebar bisa dilalui dengan mulus dan lancar hingga menghubungkan Sorong dan Manokwari.
“Saya berharap tidak akan ada lagi cerita mama-mama mengantar anak-anak ke sekolah dengan jalan kaki berkilo-kilo. Tidak akan ada cerita orang sakit ditandu dengan berjalan kaki. Tidak akan lagi cerita bahan material mahal karena harus diangkut helikopter. Tidak akan lagi cerita mobil hanyut oleh arus sungai. Tidak ada lagi cerita kepala kampung yang berjalan selama satu minggu berjalan kaki masuk hutan dan naik turun bukit dari Senopi atau Miyah ke Sausapor hanya untuk mendapat pengarahan saja dan mereka tidak menerima gaji. Saya harap cerita sedih akibat keterisolasian hanya menjadi cerita masa lalu dan hanya menjadi sebuah kenangan..“
Apa yang diucapkan oleh bapak Gabriel Asem itu diamini oleh masyarakat Tambrauw. Kini sebagian besar masyarakat Tambrauw memiliki gerak aktivitas lebih mudah, cepat, dan murah. Sebab, jalan merupakan komponen terpenting dalam menggerakkan arus manusia. Jalan adalah urat nadi kehidupan masyarakat yang berperan penting dalam mendukung ekonomi lokal, layanan publik, kesehatan, pendidikan, serta tugas-tugas pemerintahan.
Ya, dengan terbukanya infrastruktur jalan segala sesuatu menjadi mudah. Juga membuat rantai pasok ekonomi bisa berjalan secara ideal. Infrastruktur baik darat dan udara merupakan jantung dari aktivitas ekonomi. Infrastruktur akan memompa kegiatan ekonomi lebih cepat, menjadi media yang mempertemukan warga dengan fasilitas publik pokok yang akan menjadi daya dorong untuk penguatan kapasitas, khususnya untuk pendidikan dan kesehatan. Pembangunan infrastruktur sesungguhnya membuka konektivitas dan aksesibilitas. Melihat pembangunan di Papua hari ini, saya optimis dan yakin bahwa Papua ke depan akan menjadi wilayah kawasan timur yang paling maju dan hijau selama para pemimpinnya berkomitmen pada pembangunan berkelanjutan. —