Bissu dari Segiri: Sang Penjaga Tradisi Bugis Kuno

Bissu dari Segiri: Sang Penjaga Tradisi Bugis Kuno Bissu dari Segiri: Sang Penjaga Tradisi Bugis Kuno
Di waktu yang jauh, Pangkajene Kepulauan pernah menjadi pusat Kerajaan Siang, sebuah kerajaan kuno di Sulawesi Selatan. Jejak itu bisa dilihat dari keberadaan komunitas bissu yang menjadi pewaris budaya Bugis kuno.
  • Bagikan

Word: Ayu Arman

Sebuah ritual Sangiang Serri sore itu digelar di Segeri. Di sebuah rumah bercat putih, aneka sesajen terhampar memenuhi ruangan.

Tujuh ekor ayam disembelih. Aneka ragam ikan dimasak. Nasi dari tujuh warna beras ketan tersaji rapi di atas nampan. Rupa-rupa penganan khas Bugis disajikan, mulai dari onde-onde, leppe-leppe, apang, baje tejjaji, wenno, kaluku lolo, hingga bokong. Bau kemenyan meliputi seluruh ruangan.

Puang Matoa Bissu Nani, pemimpin bissu dengan pakaian kebesaran berwarna kuning emas dan tutup kepala hitam, duduk bersila didampingi Puang Lolo Bissu Juleha dan Bissu Lolo Eka. Mereka berdandan dengan mencolok. Alis mereka ditebalkan.

Sekitar biji mata dihiasi celak mata. Bibir dipolesi gincu. Wajah dipupuri bedak tebal. Di setiap punggung mereka terselip sepucuk badik.

Mereka adalah para bissu. Orang yang dianggap memiliki kemampuan berkomunikasi dengan Dewata. Bissu menjadi penghubung antara manusia dan Dewata di Dunia Atas.

Bissu bergender calabai. Laki-laki yang memiliki sifat perempuan. Walau ada juga bissu yang asli perempuan, yang biasanya berasal dari kalangan bangsawan tinggi.

Tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam keseharian, mereka berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminin, namun juga tetap membawa atribut maskulin.

Tidak semua calabai bisa menjadi bissu. Biasanya yang menjadi bissu akan mendapatkan panggilan gaib lewat mimpi.

Setelah mendapat bisikan, orang tersebut harus melapor kepada pemimpin bissu untuk ditahbiskan dan menjalankan sejumlah ritus tirakat sebelum menyandang predikat sebagai bissu.

Salah satu prosesi tirakatnya adalah dikafani selama 7 hari 7 malam dengan hanya diberi minum air kelapa.

Setelah menjadi bissu, ia juga menjalani ritual tiap harinya, seperti mempelajari dengan takzim sureq atau serat La Galigo, berdoa, berpakaian sopan, menjaga perilaku, dan senantiasi menyucikan rohani. Untuk menjaga kesucian spiritual, bissu mestilah kalis dari hasrat biologis dan seksual.

Sebab, seorang bissu dituntut untuk selalu suci dan bersih sebagaimana istilah yang melekat kepadanya. Bissu, secara bahasa berasal dari Bugis, bessi, bermakna bersih.

Satu-satunya penjelasaan keberadaan mereka tertera dalam serat La Galigo. Dalam kitab tertua kebudayaan Bugis itu termaktub informasi peran penting bissu untuk keberlangsungan kerajaan di era pra-Islam.

Selain penasihat spiritual di kerajaan, bissu adalah pengemban tugas untuk menghubungkan Dunia Bawah (manusia) dan Dunia Atas (Dewa).

Mereka berperan penting dalam upacara adat seperti upacara pelantikan raja, kelahiran, kematian, dan pertanian.

Dalam setiap upacara adat, mereka akan menampilkan tari Mabbisu atau tarian mistis dengan memutari benda yang dikeramatkan yang diyakini sebagai tampat roh leluhur bersemayam.

Pada setiap puncak tariannya, mereka melakukan gerakan maggiri; menusukkan keris ke bagian tubuh, seperti perut, telapak tangan, dan tenggorokan. Masyarakat Sulawesi Selatan percaya, ketika bagian tubuh bissu yang ditusuk keris tidak berdarah, roh leluhur sudah merasuki bissu.

Dengan demikian, masyarakat percaya permohonan mereka didengar leluhur dan harapannya dewata memberikan berkat kepada mereka.

Seiring perjalanan waktu dan kehancuran kerajaan-kerajaan Bugis, keberadaan mereka tersingkir. Apalagi pada era 1950-an, saat Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar menggelar Operasi Tobat yang membuat banyak bissu ketakutan.

Saat itu, banyak bissu yang dibantai. Beberapa yang lain lari bersembunyi. Di Pangkep, ada satu gua yang mereka jadikan tempat persembunyian. Tempatnya pun masih ada. Jaraknya sekitar dua hingga tiga jam jalan kaki dari Kecamatan Sigeri.

Setelah api pemberontakan DI/TII dipadamkan, muncul rintangan lain bernama Partai Komunis Indonesia (PKI).

Meski tidak melakukan pembantaian massal, namun bissu diminta kembali menjadi laki-laki sebagaimana harusnya.

Mereka juga dianggap sebagai kaum tak bertuhan karena masih meyakini ajaran dewa dan animisme. Oleh karena itu, perlahan keberadaan para bissu mulai tergeser oleh imam agama.

Saat ini, bissu yang masih aktif di Sulawesi Selatan berjumlah sekitar 40-an. Mereka tersebar di Segeri, Bone, dan Soppeng. Awal turunnya bissu di tanah Luwu, lalu menyebar ke daerah-daerah kerajaan.

Di Bone dikenal Bissu Patappuloe (Bissu Empat Puluh) yang terpaksa lari keluar dari Bone karena terdesak oleh kelompok agamawan dan gerombolan. Beberapa dari mereka kemudian menetap di Segeri, Pangkep. Saat ini, ada empat daerah yang permukiman tetap bissu, yakni Soppeng, Wajo, Bone, dan Pangkep (Segeri).

Komunitas bissu yang terpusat di Segeri adalah penganut Tolotang. Mereka percaya apa yang disebut dengan Dewata Seuwwa (Tuhan Yang Maha Esa). Kepercayaan Tolotang adalah milik bersama masyarakat setempat dan diwariskan secara turun-temurun, dihayati dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya.

Kebudayaan asli yang dijiwai oleh kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu didasari oleh pandangan hidup kosmologis.

Segeri menempati posisi khusus di kalangan bissu Bugis di Sulawesi Selatan. Di Segeri ini terdapat tempat penyimpanan benda pusaka dari peninggalan kerajaan Bugis, atau dikenal sebagai rumah Arajang. Di sinilah para bissu tinggal.

Hanya bissu di Segeri disebut Bissu Dewata. Yang lainnya tidak disebut demikian. Maka dari itulah, jika ada acara kerajaan di kabupaten lain, bissu Segeri yang dipanggil.

Konon, pernah ada cerita mengenai hilangnya benda keramat Kerajaan Bone. Jika tidak ditemukan, malapetaka kelaparan akan menimpa kerajaan. Raja pun memerintahkan 40 bissu mencari benda keramat tersebut. Alkisah, benda itu ditemukan di Segeri.

Tetapi, rakyat setempat tidak mau mengembalikannya ke Bone. Bissu—sebagai penjaga benda pusaka—akhirnya memilih tinggal di tempat itu hingga sekarang untuk menjaga benda yang dikeramatkan.

Benda pusaka itu adalah bajak sawah yang panjangnya hingga 5 meter. Bajak itu tersimpan rapi hingga sekarang yang hanya boleh dikeluarkan untuk upacara adat Mappalili. Ritual ini populer dalam masyarakat budaya Bugis untuk mengawali musim tanam padi di Segeri.

Upacara ini sekaligus sebagai pedoman bagi petani untuk memulai musim tanam. Dulunya, upacara Mappalili di Segeri berlangsung selama 40 hari-40 malam, kemudian berubah 7 hari-7 malam, dan sekarang hanya 3 hari-3 malam saja.

Datanglah pada bulan November ke Segeri. Anda akan melihat kemeriahan masyarakat Bugis Pangkep menyambut musim tanam dengan takzim yang dipimpin para bissu dengan membaca mantra yang disebut dengan Mattesu Arajang, memohon restu Dewata di langit.

Menurut para bissu, hanya dengan restu Dewata para petani dan masyarakat dapat memperoleh hasil tanam yang baik. Ritual ini dipercaya dapat mendapatkan berkah sehingga hasil panen melimpah. Karena itu, acara Mattesu Arajang dipandang sakral dan terus dilestarikan oleh masyarakat Bugis Pangkep hingga detik ini.

Mattesu Arajang adalah membangunkan alat pembajak yang bertuah untuk mengawali acara Mappalili. Benda yang dibungkus dengan kain putih ini sudah berumur ratusan tahun atau sekitar tahun 1770-an silam. Dan, setiap tahun selalu diadakan ritual pencucian benda bersejarah ini.

Setelah kain dilepas, satu per satu bissu memandikan alat pembajak sawah ini yang kemudian diikuti ritus Arajang Ri’alu, yakni mengarak si bajak sawah bertuah untuk mengelilingi kampung dengan iringan musik tradisional. Para pemangku adat yang membawa Arajang mengibarkan bendera merah putih. Arajang diarak dengan ritus hikmat. Mengarak Arajang ke sawah merupakan momen puncak dari rangkaian acara turun ke sawah.

Masyarakat Segeri hari ini adalah masyarakat transisi. Mereka menerima modernitas dengan tangan terbuka, tetapi juga sekuat-kuatnya mempertahankan kepercayaan tradisional mereka. Mereka mengolah tanah dengan traktor, tapi tetap setia membakar kemenyan. Modernitas tidak mengubah kepercayaan dan kedekatan mereka dengan alam. Mereka butuh teknologi hanya untuk mengganti tenaga, namun bukan sebagai konversi kepercayaan.

Meski mayoritas beragama Islam, mereka masih mempercayai bahwa alam ini terdiri atas tiga lapisan banua, yaitu Botting Langik (Dunia Atas), Kale Lino (Dunia Tengah), dan Paratiki (Dunia Bawah). Dalam kosmologi manusia Bugis, ketiga banua itu saling berkaitan.

Untuk menghindari malapetaka tertentu di Dunia Tengah, seperti penyakit menular, hama tanaman, kekeringan, dan sebagainya, mereka melakukan upacara pemujaan terhadap dewata yang bersemayam di Botting Langik. Dan, pemujaan itu dipimpin seorang bissu; kelompok yang dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisional dengan menggunakan bahasa dewa/langit (basa Torilangi).

Seperti sore itu, dari rumah Ibu Liani (56 tahun), salah satu warga Segeri yang mengaku mendapat pesan dari leluhurnya, baik lewat mimpi dan saat sadar di tengah malam, untuk melakukan ritual Sangiang Serri (kesuburan bumi).

Dari rumahnya terdengar suara gendang ditabuh bertalu-talu. Suara gong besar pun terdengar. Seorang laki-laki menggosok-gosokkan gamarru pada sebuah piring hingga menimbulkan suara berisik. Ada pula yang menggosokkan dua bulo pangilu yang menghasilkan nada mistik. Aroma kemenyan terhidu sengit.

Puang Matoa Bissu Nani duduk memejamkan mata di depan tempat pusaka berbalut kain kuning keemasan, lalu merapal mantra dan doa kepada dewata. Pujian-pujian dilantukan dengan bahasa langit oleh para bissu kepada Dewata sepenuh hati hingga suasana kian khidmat. Gendang ditabuh kembali. Bissu Nani berdiri diikuti kedua bissu pengiring. Tari Manggitik dimulai.

Para bissu menghentakkan kaki dengan keras mengikuti irama gendang. Disusul oleh teriakan nyaring dari mulut mereka. Mereka menari dengan gerakan-gerakan liar dan hentakan bertenaga, namun wajah mereka terlihat tenang. Bissu menari sembari melafalkan mantra-mantra dengan bahasa Torilangi. Lalu, mereka mencabut badik dari warangkanya dan menusuk-nusukkannya ke leher, dada, telapak tangan tanpa terlukai atau berdarah sedikit pun.

Itu artinya roh leluhur sudah merasuki para bissu. Dengan demikian, permohonan mereka didengar oleh leluhur dan harapannya dewata memberikan berkat kepada mereka.

Beberapa menit kemudian badik kembali disarungkan. Tarian berhenti dengan tak terdengarnya tabuhan gendang. Masyarakat Segeri yang hadir kemudian berebutan bersalaman dengan para bissu untuk mendapatkan berkah keselamatan.

Kini, jumlah bissu Segeri makin berkurang. Namun, generasi bissu Segeri terus merawatnya dengan penuh suka cita. Sebab, menjadi bissu sesungguhnya menjadi “ibu spiritual” yang menaburkan benih kasih sayang pada alam sekitarnya. Bahkan, kehadirannya menjadi penyelaras keharmonisan hidup, sebagaimana termaktub dalam naskah kuno I La Galigo bahwa bissu mampu meredam bencana alam dan membuat dunia harmonis.