Word: Ayu Arman
TANAH MERAH, TANAH PEMBUANGAN BOVEN DIGOEL
Pada akhirnya kaki saya menginjakan di Tanah Merah, Boven Digoel- Papua Selatan.. Pesawat Susi Air membawa terbang saya dari bandara Mopah Merauke ke bandara Tanah Merah, ibu kota Kabupaten Boven Digoel yang terletak di daerah selatan Papua.
Boven dalam bahasa Belanda berarti atas. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kabupaten Boven Digoel dikenal dengan sebutan Digul Atas. Sebelum kaki saya menginjakkan Tanah Merah, nama Boven Digoel bukan nama asing bagi saya. Daerah ini saya kenal dari buku-buku sejarah, yang menyebutkan sebagai tempat pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, dan dianggap berbahaya hingga sekarang karena sulit dijangkau dari dunia luar.
Kamp Digoel ini terletak di tengah belantara Papua. Ada tiga cara di masa kini untuk mencapai Digoel dari Merauke. Pertama, dengan pesawat yang penerbangannya agak jarang dari Merauke. Ini adalah cara tercepat, tapi mahal biayanya. Saya bersyukur bisa terbang ke Boven Digoel dengan pesawat Susi Air yang dipiloti oleh Kapten Russel Whitebeard dan Co Pilot Andrey .
Saat itu jalan darat dari Merauke ke Boven Digoel tidak bisa ditembus karena separuh jalan Merauke – Digoel masih berupa tanah dan saat itu musim hujan sehingga jalanan becek tak bisa dilewati.. Dan, kebetulan pesawat air susi saat itu disewa oleh Pemda Boven Digoel untuk mengambil jenazah dari Tanah Merah. Sehingga saya, yang saat itu bekerja dengan pemda Boven Digoel, bisa menumpang pesawat susi air ini. Dan saya terkejut ketika tahu harga sewa pesawat ini. Sekali perjalanan itu 50 juta. So, saya mengucap terima kasih kepada semesta dan bumi Papua ini yang memberi saya kemudahan untuk memasuki bumi Digoel.
Kedua, perjalanan ke Boven Digoel ini bisa menggunakan kapal yang lama perjalanannya bisa seminggu jika air tidak surut. Ketiga, lewat perjalanan darat dengan hiline. Tarifnya Rp 700 ribu tiap orang.Jika sedang kemarau, perjalanan darat butuh waktu sekitar 11 jam dari Merauke.
SITUS PENJARA DI TANAH MERAH
Ketika turun dari Bandar Udara Tanah Merah kita akan langsung melihat tugu Bung Hatta di pertigaan jalan berseberangan dengan Kantor Polres Boven Digoel yang dibangun pada tahun 2004. Patung Mohammad Hatta, Sang Proklamator itu adalah simbol Boven Digoel pernah menjadi tempat penting dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Sebagaimana diceritakan dalam buku sejarah, pada tahun 1907, dalam rangka eksplorasi militer untuk penegasan kekuasaan Belanda di tanah Papua, tentara Belanda menelusuri 540 Km sungai Digul yang membelah kabupaten Boven Digoel Ke hulu. Tanah merah pada saat itu masih merupakan daerah terpencil yang dihuni oleh suku asli yang primitif, wabah malaria yang tinggi, dan rawa-rawa dengan buaya yang buas. Inilah salah satu alasan pemerintah Belanda membuat camp pengasingan di lokasi ini. Mereka tak akan mudah kabur sebab sekelilingnya masih hutan belantara dan dikelilingi sungai dan rawa-rawa juga banyak buaya.
Sebelum eksplorasi oleh Belanda, Boven Digoel sudah dikenal oleh masyarakat merauke khususnya etnis Cina karena burung cendrawasih nya yang berbulu cemerlang diburu untuk hiasan topi-topi wanita. Pada tahun 1926-1927 terjadi pemberontakan besar-besaran oleh organisasi komunis di Banten dan Sumatera Barat terhadap pemerintahan Belanda. Kapten L. Th, Becking berhasil meredam pemberontakan diperintahkan untuk membangun tempat pembuangan di Tanah Merah, Boven Digoel pada tanggal 26 Januari 1927 bersama dengan 120 tentara, 60 kuli dan 1.300 orang rombongan tahanan pertama.
Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia juga pernah ditahan di Boven Digoel ini adalah Bung Hatta, Chalid Salim, Sutan Sjahrir,dan Bondan yang datang pada tanggal 22 Februari 1935 sebelum dipindahkan ke Banda Naira pada tanggal 30 Januari 1936. Selain itu juga terdapat beberapa pejuang lainya seperti Aliarcham, Sardjono, Mohammad Sanoesi,Soenario,Soemantri, Dachlan, dan Najoan. Jumlah penghuni tertinggi tahanan di boven Digoel yaitu tahun 1929, ketika penghuni kamp mencapai 2.100 orang (terdiri dari 1.170 laki-laki, 400 perempuan, dan 500 anak-anak). Dalam kurun waktu sekitar sepuluh tahun sudah dipulangkan 1.500 orang.
Bung Hatta dan Sutan Sjahrir hanya singgah sebentar di Tanah Merah Sebelum dipindahkan ke penjara Tanah Tinggi selama kurang lebih setahun dan termasuk ke dalam 1500 orang yang dipulangkan. Tanah Tinggi yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan sungai dari Tanah Merah merupakan penjara khusus bagi pemberontak terhadap pemerintahan Belanda di Tanah Merah.
Lagi-lagi, saya bersyukur dapat berziarah menyaksikan langsung situs situs penjarah para pahlawan kemerdekaan negeri ini. Di Boven Digoel sebenarnya terdapat 3 situs penjara yaitu penjara Tanah Merah, penjara Gudang Arang yang saat ini sudah habis terkena abrasi sungai dan penjara Tanah Tinggi yang saat ini hanya tersisa puing-puing serta sebuah prasasti.
Bangunan penjara Tanah Merah terdiri dari 3 bangunan utama yaitu barak yang mampu menampung sekitar 30 orang tahanan, sebuah ruangan tempat penyimpanan peralatan makan para tahanan dan sebuah bangku tempat Bung Hatta biasa duduk membaca buku dan 3 buah ruang tahanan kecil. Bangunan ini berada di sebelah kiri gerbang utama. Di bagian tengah terdapat penyimpanan air, dapur dan kamar mandi. Di bagian kanan dari gerbang terdapat 4 ruang tempat penahanan berukuran 2 X 2 meter, 1 barak berukuran 4 x 5 meter dan WC.
Saat ini, situs penjara ini menjadi perhatian pemerintah daerah dan dipelihara oleh pihak polres Boven Digoel karena penjara ini juga digunakan oleh pihak polres untuk mendisiplinkan anggota yang melanggar aturan. Di belakang bangunan penjara terdapat 2 unit bangunan besar sepanjang 50 x 15 meter yang saat ini digunakan sebagai asrama polisi Polres Boven Digoel. Di bagian samping situs penjara Boven Digoel Terdapat 2 unit bangunan.
Satu unit bangunan yang dulu digunakan sebagai kantor penjagaan polisi Belanda, saat ini digunakan sebagai kantor Polres Boven Digoel sementara 1 unit bangunan lagi menjadi rumah dinas Kapolres Boven Digoel. Beberapa bangunan peninggalan Belanda lainnya juga digunakan sebagai kantor pos, kantor polsek Mandobo Dan tempat tinggal penduduk di sekitar situs penjara Boven Digoel. Berjarak sekitar 1,5 km dari situs penjara Tanah Merah tepatnya di Kampung Wet terdapat Taman Makam Pahlawan Tanah Merah. Di TMP ini terdapat 42 makam pahlawan yang meninggal di Boven Digoel dan beberapa macam tokoh adat atau tokoh masyarakat Boven Digoel.
Saat ini situs penjara Tanah Merah di Boven Digoel telah cukup dikenal oleh wisatawan baik dalam negeri maupun mancanegara, terutama keluarga dari orang-orang yang pernah diasingkan di Boven Digoel ataupun keluarga dari pejabat militer Belanda yang ingin mengunjungi daerah dimana kerabat mereka pernah tinggal.
Mengenal Adat Korowai Boven Digoel
Selain mengunjungi situs penjara itu, saya berkesempatan berkunjung ke kampung suku Korowai di tengah hutan.Kondisi alam Tanah Merah berupa dataran rendah dan rawa-rawa serta 2 sungai besar yaitu sungai Digul dan sungai Kou dengan anak-anak sungainya yang menjadi denyut nadi dari kehidupan masyarakat yang berdiam di sepanjang bantaran sungai ini. Selain itu, kondisi hutan dataran rendah yang masih sangat lebat juga turut mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Boven Digoel.
Penduduk Boven Digoel hampir merata hidup di sekitar sungai dan hutan-hutan sehingga pola kehidupan masyarakat antar suku hampir sama meskipun juga ditemukan beberapa perbedaan yang mencolok seperti rumah pohon dari suku Korowai. Suku ini baru ditemukan sekitar 30 tahun lalu dan saat itu mereka masih tinggal di atas pohon sehingga sering disebut suku pohon.
Nama “Korowai”pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli Bahasa dari Belanda yang juga seorang misionaris bernama Pater Petrus Drabbe, yang dimuat di jurnal Oceania tahun 1974. Sebelum menjadi nama baku, istilah Korowai kerap diartikan “hidup” atau “orang yang hidup” dan mengandung arti perbedaan antara orang hidup dan roh.
Pemerintah daerah Boven Digoel sangat memperhatikan perkembangan dari suku ini terutama karena mereka masih tertinggal dibandingkan suku-suku lain. Dari 20 distrik yang terdapat di wilayah Kabupaten Boven Digoel, umumnya orang Korowai Batu Hidup di distrik yang bertopografi dataran rendah seperti distrik Yaniruma.
Hampir semua suku Korowai tinggal di atas pohon, sehingga dikenal sebagai Rumah Pohon. . Tinggi rumah itu sekitar 15 Meter dan tanpa menggunakan Paku Satupun melainkan digantikan dengan tali dari pohon Gnom . Atapnya menggunakan daun Sagu, dinding dan lantainya menggunakan kulit kayu Damar batu. Adapun tangga dibuat dari satu batang pohon yang diberikan cantolan sehingga bisa menjadi pijakan kaki.
Rumah pohon itu mempunyai satu sekat yang membagi ruangan itu menjadi dua, satu ruangan untuk laki- laki dan satu lagi untuk perempuan. Masing – masing ruangan terdapat perapian, terdapat pintu kecil yang menghubungkan kedua ruangan itu. Dahulu apabila waktu malam, tangga menuju rumah akan di angkat tujuannya agar musuh atau binatang buas tidak bisa naik ke atas.
Saat ini, pemukiman Korowai di wilayah kabupaten Boven Digoel kebanyakan sudah tidak berupa rumah pohon lagi. Rumah pohon masih dibuat sebagai bagian dari pelestarian budaya dan penanda bahwa di daerah itu terdapat orang Korowai. Sebagai contoh, di pusat kota Tanah Merah terdapat rumah pohon namun pemiliknya tinggal di rumah di atas tanah. Kampung-kampung Suku Korowai di wilayah Kabupaten Boven Digoel saat ini diantaranya berada di lintasan Kampung Danowage dan Kampung Waena di Distrik Yaniruma.
Saya sedang mewawancarai salah satu tokoh wanita dari suku Mandobo Boven Digoel.