LUKISAN CADAS PURBA TELUK BISARI, KAIMANA DALAM JAGAT MEGALITIKUM

LUKISAN CADAS PURBA TELUK BISARI, KAIMANA DALAM JAGAT MEGALITIKUM
  • Bagikan

Word: Ayu Arman

Melalui coretan lukisan cadas, batu dinding yang membisu itu mengabarkan tentang tradisi, budaya, dan mitos pada masyarakat tertentu dan waktu tertentu. Ia adalah sinyal hidup dan kebijaksanaan dari masa silam yang sangat jauh untuk kita hari ini.

TATKALA speed memasuki perairan Teluk Bisari, di muara teluk kecil Maimai, mungkin memanjang 300 meter ke utara dan mungkin sepuluh hingga lima belas kilometer ke selatan, terhampar berbagai motif lukisan seni cadas pada dinding-dinding tebing.

Pemandangan itu saya amati dalam diam.

Laut mengikis tebing seperti membentuk galeri setinggi hingga 1,5 meter di atas permukaan laut. Di sana, terhampar berbagai motif lukisan cadas.

Sekilas beragam lukisan seni cadas itu sudah tidak begitu jelas bila dilihat dengan mata telanjang kami dari speedboat. Namun, dengan bidikan kamera Canon EOS R5 dan lensa RF 70-200mm, motif-motif lukisan pada batu cadas itu terlihat jelas. Ada gambar seperti bulan sabit, telapak tangan, kadal, kadal membawa kapak, matahari, gerhana bulan, kadal bertangan manusia dan gambar-gambar abstrak lainnya dengan warna merah bata, kuning, dan hitam.

Saya bertanya-tanya dalam hati, dan mencoba membayangkan, bagaimana generasi-generasi terdahulu melukis pada tebing-tebing yang nyaris sulit dijangkau tangan manusia itu?

Saya kemudian melakukan wawancara dengan beberapa penduduk lokal Kampung Maimai yang telah berusia tua tentang lukisan peninggalan kuno itu. Namun, hampir mereka tidak mengetahui tentang asal-usul lukisan cadas yang menghiasi tebing-tebing itu.

Sebagian dari mereka hanya percaya bahwa yang mendesain lukisan cadas itu adalah para roh leluhur mereka dan sebagian lain mengatakan tidak tahu asal-usulnya. Namun, mereka mengetahui warna lukisan cadas itu berubah-ubah. Jika musim barat, warna merahnya tampak jelas. Sebaliknya, jika musim timur tiba, ombak besar datang dan warna merah lukisan cadas itu akan pudar.

Para etnolog percaya seni cadas adalah bentuk seni tertua. Lukisan batu cadas, yang umumnya dikenal sebagai relief di atas bebatuan dalam arkeolog dianggap bukan suatu gambar yang dibuat asal indah. Setiap gambar cadas yang dibuat atau dilukis memiliki maksud, aturan, dan perhitungan tertentu. Gambar cadas biasanya dibuat untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang khas, sesuatu yang dipuja dan dihormati.

Menurut penelitian Pusat Arkeologi Nasional, Indonesia kaya dengan gambar cadas yang merepresentasikan perkembangan gambar dari berbagai masyarakat. Salah satunya adalah seni cadas di Papua.

Seni cadas Papua mulai dikaji J. Röder pada 1938. Dari hasil kajian itu menjelaskan bahwa seni cadas di Papua dan Papua Barat banyak didominasi oleh motif binatang, seperti motif kadal, ikan, penyu, ular, burung, dan beberapa jenis hewan laut lainnya.

Dalam buku Rock Art in West Papua yang ditulis Karina Arifin Philippe Delanghe mengungkapkan bahwa situs seni cadas di Kaimana adalah situs batu cadas terpanjang di Papua Barat.

Ada kurang lebih empat puluh enam situs batu cadas. Ia berada di sekitar Teluk Bisari, Teluk Triton, Danau Kamaka, dan Danau Esrotnamba.

Di kawasan Teluk Kaimana dan Bisari, tercatat ada dua puluh empat situs seni cadas menampilkan motif binatang. Hampir semua situs mempunyai motif ikan dan kadal. Sementara, di beberapa situs terdapat motif burung, ular, dan teripang.

Di Teluk Triton tercatat ada sepuluh situs yang ditemukan dan hampir semua bermotif binatang yang sebagian besar berbentuk kadal. Ada juga motif ikan, udang, dan penyu.

Di kawasan Danau Kamaka terdapat enam situs seni cadas, namun hanya tiga situs yang menampilkan motif binatang berupa kadal. Situs-situs ini berada di lereng bukit di kawasan Danau Kamaka. Lokasi ini dapat dicapai dengan berjalan kaki, kemudian disambung dengan perahu dayung dengan jarak kurang lebih 4 km dari Desa Lumira.

Di Danau Esrotnamba terdapat enam situs seni cadas, namun hanya ditemukan satu situs yang menampilkan motif binatang ikan, kelelawar, dan penyu. Untuk mencapai situs Esrotnamba, Anda dapat menyusuri sisi utara Danau Kamaka kemudian berjalan kaki melewati hutan sejauh kurang lebih 2,5 km.

Di Papua Barat, termasuk Kaimana, kadal adalah hewan yang paling dominan menghiasi lukisan pada tebing-tebing. Ada gambar kadal yang dipadukan dengan fitur antropomorfik sehingga menciptakan citra manusia kadal atau disebut matutuo di daerah sekitarnya.

Kadal umumnya memiliki empat kaki dan memiliki tiga jari kaki berbentuk salib. Kaki depan menghadap ke depan sedangkan kaki belakang menyebar ke belakang di kedua sisi ekor yang panjang. Pada beberapa lokasi di Kaimana, tidak mudah untuk mengenali kadal dan buaya.

Kadal memang tema yang sangat umum dalam seni cadas kepulauan Indonesia dan Pasifik. Lukisan kadal tidak hanya ditemukan pada cadas, tetapi juga pada ukiran kayu, tekstil, dan lukisan kain kulit kayu. Lukisan itu memiliki konotasi kekuatan dan kebijaksanaan.

Menurut George Chaloupka, peneliti Australia tentang seni cadas, pada zaman prasejarah, kisah-kisah suci tidak selalu identik dengan dewa dan roh. Pada beberapa hewan yang dianggap suci atau kuat dalam masyarakat, seperti hewan kadal (dan buaya), berkonotasi positif; lambang kebijaksanaan dan kekuatan dalam kepercayaan pada banyak suku Indian di Amerika Barat Daya.

Kedua binatang ini seringkali dimaknai binatang yang memiliki kekuatan spiritual. Begitu seseorang terhubung secara spiritual dengan roh buaya, dia menjadi kebal dari serangannya. Kepercayaan itu kemudian dituangkan dalam lukisan-lukisan, baik secara simbolis maupun nyata, yang terlihat dari representasi situs-situs batu cadas di dunia.

Di perairan Kaimana, selain kadal, motif ikan yang menyerupai lumba-lumba juga banyak ditemukan pada kulit tebing.

Kadal dan ikan mamalia sepertinya menempati tempat khusus dalam kehidupan sehari-hari para nelayan yang tinggal di sepanjang garis pantai selatan Papua Barat ini. Kami sendiri menjumpai segerombol lumba-lumba dalam jumlah besar, lebih dari sekali, selama perjalanan di perairan Kaimana.

Oleh karena itu, penggambaran hewan dalam seni cadas di perairan Kaimana bisa dimaknai sebagai penghormatan dan pemujaan penduduk asli pada zaman dahulu kepada hewan-hewan yang memiliki kekuatan suci atau spiritual dan juga sebagai bentuk kepedulian dan tradisi masyarakat yang sedang berlangsung saat itu.

Sementara itu, warna pada lukisan cadas ini, menurut J. Röder, dihasilkan pigmen yang mengandung arang, cangkang tanah, dan mineral kaya zat besi seperti hematit oranye terbakar yang mewarnai batuan berwajah putih ini. Warna hitam diperoleh dari arang, minyak bah, jelaga dan getah tumbuhan tertentu. Warna merah terbuat dari darah manusia, tanah kaya zat besi, dan sari tanaman tertentu. Warna putih terbuat dari sperma, sagu, dan tengkorak segar yang diperoleh dengan mencampurkan jeruk nipis, air, dan bahan pengikat nabati tertentu.

Lalu, siapakah para pelukis batu-batu cadas itu? Sedikit literatur yang menjelaskan tentang orang-orang yang membuat lukisan pada tebing-tebing perairan Kaimana ini kecuali mereka telah memastikan bahwa para pelukis masa lalu itu menggambar dengan cat dari produk lokal untuk menggambarkan intimasi mereka dengan air.

Penduduk asli Papua di pesisir Kaimana juga saat ini tidak bisa menjelaskan dengan pasti asal-usul lukisan cadas di sekitar rumah mereka itu. Mereka hanya menyakini bahwa para roh leluhur mereka yang menggambar lukisan pada tebing-tebing yang menjulang tinggi dan sulit dijangkau manusia biasa. Namun, yang pasti, usia lukisan cadas di tebing tepi laut Teluk Bitsyara dan pada teluk lain di perairan Kaimana ini diperkiraan berumur antara 3000—5000 tahun.

Pada tahun-tahun itu Pulau New Guinea masih tertutup dunia luar sehingga satu-satunya penghuni pulau ini adalah mereka, orang-orang penduduk lokal Papua sendiri. Sekitar 7.000 tahun lalu, perjalanan dari Selat Torres di Australia ke New Guinea masih bisa dilakukan dengan melintasi Laut Arafura yang dangkal dan berlumpur. Sehingga, kemungkinan satu-satunya adalah lukisan cadas itu juga pengaruh dari pengembara suku Aborigin dari Australia yang meninggalkan jejak mereka pada tebing-tebing sebagai galeri mereka dan kemudian mewarnai budaya penduduk lokal Pulau New Guinea sebelum mereka pindah ke tempat lain. Suku Aborigin juga terkenal sebagai pencipta lukisan cadas secara mendalam melalui pengamatan mereka dari apa yang mereka lihat dan jelajahi selama ribuan tahun.

Kepala Pusat Kuratorial Pengetahuan Adat Museum Nasional Australia, Margo Neale, mengatakan suku Aborigin telah memiliki hubungan dengan penduduk asli Papua dan nelayan Makassar sejak 1700-an. Tidak mengherankan jika saat ini kita masih bisa melihat kesamaan beberapa budaya dan seni antara penduduk asli Papua dan Aborigin, Australia. Salah satu kesamaan itu ada pada budaya seni lukisan pada batu cadas ini.

Seni cadas di pantai Papua Barat, termasuk di Kaimana, pertama kali ditemukan pada awal 1880-an dan ditulis secara umum dalam jurnal Tijdschrift Bataviaasch Genootschap dari tahun 1880 hingga 1884 (Tichelman, 1939b, hal. 88). Pada 1937, seni cadas di wilayah Teluk MacCluer baru dipelajari secara ilmiah ketika J. Röder, anggota ekspedisi Frobenius, membuat deskripsi terperinci bersama dengan studi tentang budaya lokal.

Laporan lain dilakukan D. F. van Braam Morris yang melaporkan tentang lukisan cadas stensil tangan dan perahu kecil sepanjang sekitar 1 meter atau kurang di pulau kecil di sebelah timur Pulau Arguni. Dalam laporannya menjelaskan bahwa tebing-tebing dengan tanda lukisan cadas itu menjadi penanda untuk membuang mayat orang Papua.

Stensil tangan dan lukisan lainnya juga dilaporkan De Clercq, juru tulis Residen pada periode yang sama, telah melihatnya di enam pulau kecil di Teluk MacCluer. Dia mencatat bahwa stensil tangan sebagian besar berasal dari tangan kiri dan warna merah. Lukisan-lukisan itu berada di tebing yang tidak mudah dijangkau manusia.

Meskipun pengaruh Islam sudah masuk beberapa ratus tahun yang lalu di perairan Kaimana, namun beberapa penguburan seperti itu masih dilakukan pada 1880-an. Sumber-sumber Belanda juga menceritakan bahwa sampai tahun 1880-an orang-orang lokal membungkus mayat di tikar dan menaruhnya di gua dangkal di dalam peti mati kayu yang tampak seperti perahu dan ditempatkan di atas perancah kayu. Dulunya, mereka menggunakan tembikar, ornamen cangkang, jimat, kapak batu yang dipoles dan alat untuk membuat perahu.

Tulang dari mayat itu kemudian dimasukkan ke ceruk-ceruk tebing, dan tebing-tebing itu kemudian diberi tanda motif lukisan tertentu seperti lukisan stensil tangan dan motif lainnya. Sehingga, dinding batu yang membisu itu kemudian menjadi jejak akan tradisi dan kepercayaan masyarakat ribuan tahun lalu melalui coretan lukisan cadas mereka.

Saat ini, beberapa lukisan cadas di perairan Kaimana telah banyak hilang. Sebab, sebagian besar lukisan cadas ini terletak di permukaan laut yang terbuka sehingga sangat rentan terhadap erosi alami. Juga, karena lukisan cadas berada di tempat terpencil, lukisan cadas ini mudah dihancurkan, dan mengalami pelapukan dan vandalisme kecuali mereka dilindungi.

Meskipun seiring dengan perjalanan waktu, bentuk-bentuk kepercayaan dan cara hidup penduduk lokal Kaimana telah berubah secara alami, dan juga pengaruh modern, seni lukisan cadas tetap perlu dilindungi dan dipelajari secara mendalam. Seni cadas Kaimana perlu kita tempatkan sebagai seni purba, warisan budaya masa lalu yang kaya, dalam, dan berharga bagi seluruh umat manusia kini dan nanti. Di atas itu semua, seni mamahat di atas cadas itu adalah sinyal hidup dan kebijaksanaan dari masa silam yang sangat jauh untuk kehidupan kita hari ini. ***