Word: Ayu Arman
Mari memasuki hutan raya mangrove Mimika. Merasakan secara langsung bagaimana mangrove ini menjadi benteng hidup dan organik bagi terselenggaranya keanekaragaman hayati di ekosistem. Di sini, mangrove menjadi pejuang penjaga keseimbangan iklim, pelindung pantai, dan kontributor ekonomi bagi warga.
* * * *
Hutan mangrove di Papua tercatat sebagai hutan mangrove terluas di Indonesia. Kalau dinarasikan dengan angka, luasan hutan mangrove di Papua berjumlah 58% dari total hutan mangrove di Indonesia dan menyumbang angka sekitar 12% dari hutan mangrove di dunia.
Pada akhir 2024, kami menyusuri Sungai Wania untuk melihat pemandangan hutan mangrove Mimika ini. Kami langsung terpesona saat melihat dari ketinggian keindahan ekosistem hutan mangrove yang terhampar luas dan lebat seperti pulau-pulau kecil di atas sungai dan pantai Mimika.
Mangrove di mana-mana. Di sungai, di muara, di pesisir pantai. Mangrove yang tumbuh di Mimika adalah mangrove yang masih alami dan terdiri atas 42 jenis dengan luas mencapai 186 ribu hektare, urutan keempat terluas di Papua.
Bagi banyak orang, hutan mangrove mungkin terlihat tidak menarik karena tempatnya berlumpur dan seperti rawa yang dipenuhi nyamuk, ular, laba-laba, serta serangga lainnya. Namun, jika kita mengambil satu sendok teh lumpur dari hutan mangrove dan melihatnya dengan mikroskop, kita akan menemukan sepuluh miliar lebih bakteri di dalamnya. Bakteri itu membantu memecah sampah daun dan bahan alami lainnya.
Di atas air, pohon-pohon mangrove dan kanopi menyediakan habitat penting bagi berbagai spesies burung, serangga, mamalia, dan reptil. Sementara di bawah air, akar mangrove yang berdiri di antara daratan dan lautan itu menstabilkan lingkungan dan menyediakan tempat hidup bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan.
Substratum lunak di hutan mangrove membentuk habitat bagi berbagai spesies dan ruang antara akar menyediakan makanan serta tempat berlindung fauna motil seperti udang, kepiting, dan ikan.
Hutan mangrove juga dapat melawan erosi pantai. Mereka bertindak sebagai pemecah gelombang, menghilangkan gelombang badai dan energi gelombang. Lebih dari itu, mangrove adalah penyerap karbon dari udara dan lautan untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, mangrove bukan sekadar pohon biasa. Mereka seperti benteng hidup dan organik bagi terselenggaranya keanekaragaman hayati di ekosistem, penjaga keseimbangan iklim, pelindung pantai, dan kontributor ekonomi.
Saat speedboat memasuki Muara Ajkwa, kami melihat banyak burung bangau dan pelikan beterbangan ke sana kemari atau bertengger di cabang-cabang pohon. Apalagi saat memasuki hutan mangrovenya, waktu seperti berhenti.
Dari tanaman merambat dan cabang-cabang yang bengkok muncul serangga-serangga liar, moluska, dan kepiting dengan bentuk dan warna yang beraneka. Mereka beterbangan dan merayap ke sana-kemari seolah sedang bermain petak umpet. Ada yang berukuran seibu jari, setelapak tangan anak, hingga yang besarnya dua kali telapak tangan orang dewasa.
Saat air laut surut, kami melihat atraksi kepiting memakan bangkai ikan di atas potongan kayu. Di permukaan pasir pantai, kami melihat begitu banyak jejak kepiting.
Saya berkesempatan berbincang dengan warga suku Kamoro, suku asli pesisir yang tinggal di kampung ini.
”Kalau daun pohon menguning, karaka sedang musim bertelur. Karaka sembunyi di dalam lubang dekat akar-akar. Kalau sudah begitu, saya biasanya tidak ambil. Tunggu sampai besar dulu,” terang salah seorang warga kepada saya.
Pohon yang dimaksud adalah mangrove Xylocarpus moluccensis setinggi lebih dari 4 meter dan karaka adalah kepiting. Kepiting adalah krustasea mangrove terpenting secara komersial di Mimika.
Dari pemantauan mangrove di Mimika, tercatat ada 41 jenis krustasea, terdiri atas 37 jenis kepiting, 3 jenis udang, 1 jenis kelomang, dan 1 jenis lobster lumpur.
Dua famili utama kepiting hutan mangrove Mimika adalah jenis Ocypodidae, yang biasanya hidup di pantai bawah dekat muara, dan Sesarmidae, yang mampu bertahan di lingkungan yang kering dan hidup di pantai atas, sering memanjat akar dan batang pohon bakau.
Mangrove yang terhampar pada pesisir Mimika selama ini menjadi ”supermarket” bagi orang Kamoro yang paham kapan waktu terbaik untuk mencari apa yang mereka perlukan. Rawa-rawa bakau menjadi sumber makanan yang tak ada habisnya, beragam jenis ikan, udang, kepiting, kerang bahkan “tambelo” makanan lezat kegemaran orang Kamoro.
Sementara itu, muara sungai Mimika menyediakan cadangan pangan yang seakan tak ada habisnya. Hamparan pasir pantai bertemu ujung rawa bakau menjadi satu ekosistem menarik bagi sejumlah kehidupan. Aneka burung, ikan, udang, hingga buaya air payau menghuni area yang sangat luas.
Dari hutan mangrove muara Ajkwa, kami menuju ke hutan mangrove Pomako di Pelabuhan Pendaratan Ikan Pomako. Luas kawasan hutan mangrove di sini 300 ribu hektare dengan tinggi pohon mencapai 30 meter. Kini, kawasan bernama Ekowisata Hutan Mangrove Pomako ini menjadi destinasi wisata ekologis dan pusat belajar mangrove di Papua, bahkan Indonesia.
Ada sejumlah fasilitas yang telah dibangun, seperti lahan parkir, gedung kantor, pusat informasi mangrove, toilet, gazebo, gedung pertemuan, dan pusat kuliner. Juga, dibangun pula jembatan kayu sepanjang 3 ribu meter sebagai mangrove track yang bentuknya menyerupai kepiting bakau jika dilihat dari atas.
Saat berjalan di sepanjang jembatan papan kayu di tengah hutan mangrove ini, kami merasakan atmosfer teduh dan tenang di tengah-tengah alam. Pepohonan mangrove yang menjulang tinggi dengan ranting-ranting dan akar-akar yang menjuntai memberikan sensasi tersendiri.
Suara-suara yang muncul adalah suara desiran angin dan burung-burung yang berkicau riang. Di ujung jembatan, saat pandangan kami tidak lagi terhalang rerimbun dedauan mangrove, kami menyaksikan burung elang beterbangan bebas di langit terbuka.
Kami beruntung, laut sedang surut tatkala tiba di hutan mangrove Pomako ini. Dengan demikian, kami bisa melihat lumpur yang telanjang, lalu muncul kepiting kecil dalam jumlah yang banyak, moluska–khususnya gastropoda dan bivalvia–kadal monitor, kingfisher, dan satwa liar lainnya.
Baca hasil riset PT Freeport Indonesia dan Research Center for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences tentang biota akuatik di Kabupaten Mimika. Dalam riset itu tervalidasi jumlah jenis krustasea di kawasan hutan mangrove Mimika yang relatif lebih banyak daripada hutan mangrove lainnya di dunia.
Dalam perjalanan kembali, laut mulai pasang. Air mengalir di lumpur, menutupi kembali akar-akar pepohonan. Menyaksikan langsung alam bekerja dengan ritmenya adalah pengalaman yang tidak boleh kami lewatkan.
Selain mangrove, hutan hujan tropis juga terlihat menghampar bagaikan permadani hijau. Surga bagi banyak spesies hewan yang ada, lumbung pangan dan papan bagi suku Kamoro. Sejumlah hewan dan tumbuhan endemik Papua ada di dalamnya, bahkan banyak spesies yang belum teridentifikasi. Kayu material ukiran Kamoro pun didapat dari hutan ini, sumber daya unggulan bagi masyarakat sekitar.
Jika Anda ingin merasakan getaran alam yang menyejukkan dan menyaksikan satwa mangrove dan hutan hujan tropis, Kawasan hutan Mimika layak dikunjungi. Ini adalah perjalanan yang patut Anda coba. Anda akan menyusuri sungai-sungai dan pantai pesisir selatan Papua. Jangan lupa, jaga kebersihannya, bantu menyelamatkan alam untuk masa depan, dan abadikan dalam kamera Anda sebagai kenang-kenangan.