Word: Ayu Arman
Di puncak Gunung Emansiri, Kampung Lobo, tersimpan cerita purba sang elang raksasa atau garuda, sementara di lembahnya terekam kisah memilukan bangsa Belanda saat membuka permukiman untuk pertama kalinya.
SAAT memasuki perairan Lobo, pandangan saya langsung tersedot energi magis yang dipancarkan Gunung Emansiri yang menjulang. Konon, puncak gunung berbentuk belahan-belahan kerucut itu selalu tertutup awan putih tebal seperti yang saya saksikan hari itu.
Gunung dengan kemegahan dan kesederhanaannya merupakan bagian dari lanskap planet yang bagi saya bisa membangkitkan emosi spiritual. Sebab, gunung memancarkan “energi alami” yang tinggi dan berbeda dari “energi alami” pada dataran rendah. Hal itu bisa terjadi karena gunung merupakan tubuh makhluk kosmis. Bebatuan menjadi tulang-tulangnya, lahar menjadi darah yang terus mengalir dalam setiap pembuluhnya, pohon dan rerumputan adalah rambut dan bulu kulitnya, awan dan kabut uap menjadi napasnya. Sullivan (1955) bilang, gambaran utuh sebuah gunung adalah manifestasi hayati yang utuh dari kehidupan.
Barangkali, energi alami inilah yang menarik saya untuk berdiri tegak di haluan speed boat dan menengadahkan wajah secara paripurna ke puncak Emansiri. Sementara, puluhan burung bertengger dan beterbangan di kanan-kiri seperti menyambut kedatangan perahu kami saat memasuki perairan Kampung Lobo yang dulu dikenal dengan kawasan Laut Janggauru dalam bahasa penduduk lokal Mairasi.
Tatkala memandang Emansiri dari kejauhan itu, seketika bayangan saya teringat pada perjalanan para pelaut dan pedagang luar Papua dahulu. Para pelancong dan saudagar yang melintasi daerah ini mungkin selalu menepikan kapalnya di kaki gunung untuk beristirahat. Kampung Lobo menjadi satu-satunya daratan rendah di antara tebing pegunungan dan bebatuan yang diciptakan erosi dari laut yang paling cocok untuk berlabuh. Sebagaimana nama mula-mulanya, seperti itulah posisi Lobo. Jejak nama kampung ini berasal dari bahasa lokal “Awe Wamba” atau pelabuhan. Lalu, oleh Portugis diubah menjadi “Lobo”, dan tatkala Belanda masuk diganti lagi menjadi “Merkus-oord”.
Masyarakat Lobo menempatkan Emansiri sebagai tempat yang sakral. Saat mengunjungi kampung ini, saya melihat Tugu Iamba. Tugu yang dibangun Tim Ekspedisi NKRI 2016 ini berdiri tegak menghadap ke puncak gunung dan Kampung Lobo. Sementara, di sudut lain juga berdiri tegak tugu tua Fort Du Bus yang dibangun pada 1828.
Pemandu kami kemudian mempertemukan saya dengan Bapak Leonardo Sisauta, mantan kepala desa Lobo. Bapak Leonardo salah satu penduduk Lobo yang pernah mendaki ke puncak Emansiri yang konon pernah menjadi sarang iamba, sebutan elang raksasa, yang biasa terbang menukik dari puncak gunung dan merebut kano-kano serta memangsa orang-orang yang melintasi di perairan teluk.
“Orang pertama kali yang melihat burung elang raksasa itu penduduk dari suku Mairasi yang tinggal di sekitar pedalaman Pantai Janggauru. Konon, kemunculan burung itu selalu ditandai dengan suara pekikan yang kuat dan mengejutkan. Sayapnya lebar. Cakarnya sangat mematikan saat menyerang. Hampir tidak ada yang lolos dari incarannya. Para orang tua kami dulu tak satu pun berani hidup di pesisir pantai. Mereka lebih memilih hidup di pedalaman hutan hingga suatu hari burung elang raksasa itu ditembak orang berkulit putih dengan senapan dan pasukan serigala dan kemudian beberapa penduduk pendalaman baru berani ke pesisir pantai teluk,” kisah Bapak Leonardo.
Ia memang tidak bisa membuktikan secara langsung kebenaran cerita keberadaan burung itu meski ia telah mendaki Emansiri. Di atas gunung itu ia tidak menemukan jejaknya. Hanya saja, pemandangan dari atas gunung itu indah sekali. Sepanjang mata memandang, tampak keseluruhan bentang Teluk Triton dan Kepulauan Kei, Maluku.
Adapun kisah burung elang raksasa, atau dikenal burung garuda itu, telah menjadi cerita rakyat yang terus dikisahkan para orang tua kepada anak-anaknya. Bapak Leonardo sendiri mendapatkan cerita itu pada 1960-an saat ia masih kecil. Hingga kini, cerita elang raksasa itu masih hidup. Bahkan, iamba menjadi lambang dari pasukan Batalyon Infanteri 764 Kaimana dengan sebutan Iamba Baua, yang artinya Garuda Pelindung dari Ufuk Timur.
Penuturan lisan para kamitua tentang burung iamba yang telah menjadi kisah dalam cerita rakyat di Lobo barangkali nyata. Sebab, hutan Papua juga tercatat sebagai habitat burung jenis Harpyopsis novaeguineae. Burung elang ini adalah pemangsa makhluk besar. Nama lainnya adalah elang harpy Papua. Atau, rajawali Papua. Panjangnya antara 75 hingga 90 cm. Lebar sayapnya sekitar 121 hingga 157 cm, sedangkan massa tubuhnya rata-rata 1,6 hingga 2,4 kg.
Namun, rajawali Papua ini ukurannya tidak sebesar burung elang predator purba di masa Miosen akhir. Yakni, elang haast, salah satu spesies burung terbesar yang pernah ditemukan di Argentina barat laut dan tengah Amerika Serikat dan Selandia Baru. Elang raksasa predator purba ini memiliki berat mencapai 15 kilogram. Panjang cakar bisa mencapai 9 sentimeter dan lebar sayapnya mencapai hampir 3 meter. Namun, jenis burung elang ini telah punah sekitar 800 silam. Iamba barangkali sejenis burung elang predator purba di masa Miosen akhir. Habitat mereka ada di hutan hujan tropis.
Jika hari ini kita masih bisa menemukan pohon pisang raksasa setinggi 25 meter dalam hutan Papua, bisa jadi, 800 tahun lalu burung elang raksasa predator ini juga pernah ada di Gunung Emansiri. Hutan Papua kala itu adalah hutan lebat yang menutupi semua pemandangan dan belum tersentuh apa pun dari dunia luar.
Sementara itu, cerita orang berkulit putih yang menembak burung elang raksasa dengan senapan dan memakai umpan anjing dan serigala yang dimaksud oleh penduduk lokal itu masih simpang siur. Sebagian cerita yang berkembang adalah orang-orang kulit putih itu melemparkan serigala sebagai umpan untuk burung tersebut. Saat burung itu turun untuk mencari mangsanya, mereka menembaknya. Burung itu diyakini berukuran luar biasa besar, mampu mengambil sampan dari laut, dan kemudian memakan para pelaut.
Sebagian cerita lain mengatakan anjing-anjing itu diikat dan dipukul agar mereka mengeluarkan lolongan yang memancing burung elang yang bersarang di Gunung Emansiri untuk keluar mencari mangsa. Begitu burung itu terbang di atas sang anjing, orang-orang berkulit putih itu menembaknya dan akhirnya jatuh.
Salah satu hal yang menarik dari kisah Kampung Lobo adalah asal usul namanya yang rumit. Nama “Lobo” berasal dari kata “loup”, bahasa Portugis, yang berarti serigala. Kata ini menunjuk pada pulau yang banyak dihuni anjing dan serigala. Demikianlah, nama kampung “Awe Wamba” dalam beberapa tahun kemudian berubah menjadi Lobo. Bisakah kita berasumsi pengunjung Portugis yang menyebutkan tempat itu?
Bisa jadi. Dalam Zeemansgids voor den Oost-Indischen Archipel (1901), kita menemukan catatan bahwa perairan Janggaru pernah dilayari pelaut Portugis melalui Seram antara 1512 hingga 1607.
Keberadaan puluhan anjing liar masih kita jumpai saat ini. Di tengah percakapan dengan Bapak Leonardo Sisauta, saya mendengar lolongan panjang anjing yang bersahutan di siang bolong.
“Pak, suara-suara anjing itu kenapa?” tanya saya
“Di sini tempatnya anjing. Dulu, sebelum penduduk kampung mengenal agama, anjing dan serigala di sini bisa menjadi media pesuruh atau perantara untuk mencelakai orang dengan ilmu-ilmu hitam. Karena banyaknya anjing dan serigala itu barangkali orang kulit putih menamai pulau ini dengan Lobo.”
Terlepas nyata atau dongeng, kisah yang dituturkan Bapak Leonardo itu adalah bagian dari cerita rakyat yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Lobo yang diketahui secara turun-temurun sehingga menjadi sejarah asal usul Kampung Lobo ini.
Barulah Kampung Lobo dikenali secara resmi saat Belanda mendirikan permukiman Merkus-oord dan benteng pos militer pertama di Papua dengan nama Fort Du Bus dan meresmikanya pada pada 24 Agustus 1828. Inilah awal Lobo dihuni manusia.
Namun, sejarah permukiman Merkus-oord yang dihuni kurang lebih 170 orang dari anggota Tim Ekspedisi Triton itu menyimpan kisah tragedi yang memilukan. Dalam The Price of Knowledge Science, Imperialism, and the 1828 Triton Expedition (2020), Sven Rouschop menceritakan bahwa belum lamapermukiman dibuka, satu per satu anggota tim ekspedisi terserang penyakit miasmatik, racun dari udara busuk penebangan hutan dan pembukaan tanah di sekitar benteng.
Dari total 170 anggota tim ekspedisi, 68 jatuh sakit dan kemudian meninggal. Hanya 20 tenaga angkut Jawa yang tampaknya tidak terpengaruh penyakit tersebut. Walhasil, bangunan permukiman dibongkar dan anggota tim ekspedisi yang tersisa kembali ke Ambon. Yang tertinggal adalah benteng dan makam tua yang masih bisa ditemukan di Lobo sampai saat ini.
Berkembang juga cerita bahwa Bung Karno pernah mendatangi Kampung Lobo dengan menggunakan nama samaran Sabakula. Nikolas Werwete, warga Kampung Kokoroba di Pulau Arguni, pernah memberikan kesaksiannya kepada masyarakat Lobo. Nikolas pernah mengantar Bung Karno dengan perahu menuju Kampung Lobo. Namun, saat itu, ia tidak tahu jika lelaki yang mengaku bernama Sabakula itu adalah Bung Karno. Ia baru sadar bahwa lelaki bernama Sabakula adalah Bung Karno beberapa tahun kemudian saat ia melihat gambar-gambar Bung Karno tatkala menjadi presiden Republik Indonesia.
Ia teringat bahwa ia pernah melihat wajah seperti Bung Karno itu di Kampung Lobo. Saat itu, ia diminta menimba air yang memenuhi perahu yang ditumpangi Bung Karno dengan beberapa orang. Bung Karno datang ke Lobo singkat sekali. Ia hanya melihat-lihat tanah Lobo dan mengambil kayu dari pohon timomor. Pohon itu hanya bisa tumbuh di atas bebatuan sekitar perairan Lobo dan terkena gelombang laut. Kayu ini tidak sembarangan. Keras seperti besi. Kayu ini konon menjadi salah satu tongkat komando Bung Karno.
Kisah elang raksasa atau rajawali atau garuda dan kehadiran Bung Karno di Lobo yang diceritakan secara turun-temurun itu kemudian menjadi kepercayaan tradisional masyarakat Lobo bahwa Emansiri adalah asal Sang Garuda yang dijadikan lambang Pancasila dan batang lurus timomor menjadi material utama tongkat komando Bung Karno.
Cerita itu kini telah menjadi folklorLobo. Sebuah kepercayaan tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi, baik lisan (verbal), tingkah laku (non verbal), maupun melalui bukti-bukti fisik yang ada seperti barang-barang peninggalan dari zaman dulu. Dengan demikian, folklor itu tetap hidup di tengah arus cepat perubahan zaman.
Cerita itu juga yang membuat Puan Maharani, cucu Bung Karno, tertarik mengunjungi Kampung Loba saat mengikuti Ekspedisi NKRI 2016 Koridor Papua Barat. Ia kemudian mengusulkan Lobo sebagai destinasi wisata sejarah Kaimana. Sebab, Lobo memiliki keindahan alam dengan latar kemegahan Gunung Emansiri dan menyimpan cerita purba elang raksasa (burung garuda) dan sejarah perjuangan Indonesia dalam menyatukan Papua ke pangkuan Republik Indonesia.***