BAKAR BATU, WAKTUNYA BERSAUDARA

BAKAR BATU, WAKTUNYA BERSAUDARA
  • Bagikan

Word: Ayu Arman

BAKAR BATU, WAKTUNYA BERSAUDARA

Datanglah ke suku Amungme. Anda disambut meriah dengan ritus bernama Pesta Bakar Batu. Tari-tarian akan mengiringi pesta, tak lupa babi dan aneka ubi-ubi yang dibakar di atas batu panas sebagai hidangan utama. Pada bakar batu, waktu itulah persaudaraan diikat (kembali).

* * * *

Sebelum para penambang berbondong-bondong datang, suku Amungme hidup selama ribuan tahun dalam apa yang oleh banyak orang sebut sebagai “zaman batu”. Selain menggunakan batu sebagai alat melakukan aktivitas sehari-hari seperti berburu dan memasak, batu juga menjadi alat tukar barang seperti kapak, garam, kerang, dan babi.

Mereka hidup menyatu dengan alam bebas di utara dan selatan pegunungan Jayawijaya. Saat malam tiba, alam menjadi sangat liar. Saat fajar, honai mereka berubah menjadi rumah yang besar dan indah oleh taman penuh dengan bunga-bunga bermekaran aneka warna.

ourislands

Ladang mereka selalu penuh dengan tanaman. Ada yang sudah matang, ada pula yang baru tumbuh. Selalu berlimpah dan siap dipanen kapan saja.

Di sekeliling dusun mereka terbentang pegunungan dari timur ke barat, dengan puncaknya berdiri tegak lurus dengan langit. Dari puncak-puncak gunung, air memancar dari kolam-kolam yang segar dan jernih, di antara bebatuan, membentuk anak-anak sungai dan mengalir ke bawah.

ourislands

Puncak-puncak gunung itu mempunyai nilai sakral bagi suku Amungme, yang sebagian besar berada di wilayah konsesi pertambangan Freeport saat ini. Suku Amungme menghormati puncak-puncak gunung dengan hati-hati serta percaya bahwa nenek moyang mereka memperhatikan dari ketinggian puncak-puncak itu.

Di kaki gunung terdapat hutan tempat berbagai jenis burung beterbangan menikmati indahnya waktu fajar. Kuskus berjemur di sepanjang dahan pohon. Melihat ke selatan, mereka memandang daratan luas sehingga mereka tidak dapat melihat di mana ujungnya.

Wilayah daratan ini menjadi tempat orang-orang Amungme berburu, mengumpulkan, bercocok tanam, dan beternak babi. Hasil bercocok tanam dan ternak itu mereka jual ke pasar.

Begitulah siklus kegiatan utama mereka: rumah, ladang, pasar. Lalu, kembali lagi ke rumah. Rumah orang-orang Amungme, sebagaimana umumnya warga Papua di pegunungan, adalah honai yang berbentuk bulat dengan atap yang terbuat dari jerami yang dirancang untuk tetap hangat di iklim pegunungan yang dingin. Bagi mereka, honai itu zona hunian yang menjadi simbolisasi dari payudara dan rahim ibu mereka yang telah memberi mereka makan selama ini.

Itu tercermin dari tarian dan ritual kehidupan mereka sehari-hari. Salah satunya adalah ritual pembakaran batu yang diwariskan para leluhur Amungme dalam merayakan kehidupan penuh suka cita atas segala berkat yang diberikan alam dan Tuhan dalam kehidupan mereka.

Kehadiran Freeport menantang suku Amungme hidup dalam budaya konsumen modern. Di tanah mereka yang saat ini telah mengalami pembangunan modernisasi itu, kami masih menemukan tradisi bakar batu yang masih kuat mengakar dalam kehidupan mereka.

Bakar batu adalah warisan memasak leluhur Amungme yang menghadirkan rasa solidaritas, kasih, dan empati yang tinggi. Ia adalah simbol dari hubungan erat antarwarga, kebersamaan, dan juga bentuk rasa syukur.

Di pengujung 2024, kami mengikuti ritual bakar batu di perkampungan Mandiri Jaya, Kota Timika. Siang itu, semua warga Amungme berkumpul di halaman rumah yang cukup luas dengan membawa hasil-hasil pertanian mereka. Umbi-umbian, sayuran, ayam, dan babi.

Ritual bakar batu diawali dengan tari-tarian. Seruan terdengar lantang di antara para lelaki Amungme untuk memulai acara. Musik tradisional mulai menghentak, membangkitkan tubuh-tubuh perempuan dan lelaki, dewasa dan anak-anak, menari-nari dengan kaki-kaki telanjang.

Para lelaki Amungme mengiringi pekikan suara khas yang menimbulkan irama dinamis menambah ramai suasana pesta bąkar batu. Wajah-wajah mereka penuh semangat, berkeringat, dan bahagia.

Sebagian mereka menghias wajah dan bagian tubuh mereka dilumuri kapur putih dan kapur hitam yang pekat. Janur daun sagu yang telah diikat dengan bulu burung kasuari melingkar di atas kepala lelaki. Beberapa helai daun sagu yang dikeringkan diikat di bagian pergelangan tangan.

Mantra yang dilagukan, suara-suara pekikan khas, lukisan tubuh, dan pernak-pernik pada tubuh mereka adalah simbol kehadiran leluhur yang selalu menjamin kelangsungan hidup dan berkah bagi setiap warga yang melaksanakan tradisi ini.

Pada tahap pertama, mereka membuat lubang pada tanah hingga menyerupai wajan. Kedalamannya bervariasi, tergantung jumlah makanan yang disiapkan, menyesuaikan dengan jumlah warga yang mengikuti ritus ini.

Batu dan kayu lalu dipersiapkan untuk memasak. Susunan batu dan kayu pun disusun sesuai aturan. Tidak sembarangan. Batu paling besar diletakkan paling bawah lalu ditutup dengan kayu, dan kemudian ditata lagi bebatuan yang ukurannya kecil lagi, ditutup kayu lagi. Selanjutnya, tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan seluruh batu menjadi membara.

Di sisi lain, seekor babi dikorbankan dengan cara khusus, yaitu dengan dipanah tepat di bagian jantung. Seorang pemanah yang merupakan tetua suku, siap memanah. Babi dipegang dan sebatang anak panah terlepas dari gendewa, menancap tepat di bagian jantung.

Bumbu masak disiapkan. Babi dibersihkan. Isi perut dan bagian lain yang tidak dikonsumsi dibuang, yang tersisa hanyalah daging beserta lemak tebalnya. Pada tahapan ini, semua kegiatan dilakukan laki-laki.

Para mama menyiapkan sayur berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang), dan towabug atau hopak (jagung), pisang, ubi-ubian, serta ayam. Bumbu masak yang digunakan hanyalah garam.

Di atas batu-batu panas itu diletakkan daun pisang berhelai-helai kemudian sayur dan ubi-ubian di letakkan dalam galian yang telah dilapisi daun. Selanjutnya, batu panas diletakkan di atas sayur dan ubi-ubian kemudian ditutup lagi dengan rumput.

Begitu juga cara memasak babi dan daging ayam. Babi dan ayam dibakar terpisah dengan sayuran dan ubi-ubian.

Setelah semua bahan masakan dimasukkan, lalu ditutupi lagi dengan daun-daun pisang dan batu-batu panas dan ditutup kembali dengan daun, membentuk tumpukan yang kokoh. Proses ini membutuhkan kehati-hatian untuk memastikan bahwa makanan matang dengan merata.

Proses memasak ini memakan waktu sekitar 2 hingga 3 jam. Batu yang panas akan menyerap panas dan mengalirkannya ke dalam makanan yang ada di bawahnya, menjadikannya matang dengan cara alami dan lezat, memiliki rasa yang sangat khas.

ourislands

Sembari menunggu makanan masak, acara diisi dengan seremonial berupa kata sambutan dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh gereja, nyanyi-nyanyian pujian, dan tentu saja menari bersama.

Dua jam kemudian gundukan batu dibongkar, daging babi dan sayuran yang sudah matang siap dihidangkan.

Pada tahap ini, pemimpin adat memastikan semua yang hadir menerima makanan secara merata. Pemimpin dan keluarga intinya tidak menyentuh makanan olahan untuk diri mereka sendiri sebelum memastikan semua orang mendapatkannya.

ourislands

Suku Amungme sangat menghormati para tamu, menjamin suku-suku lain yang hadir, apalagi jika mereka sebelumnya bertengkar. Sebab, kehadiran para tamu pada perayaan yang mereka buat adalah suatu kehormatan dan tanda berkah bagi mereka yang merayakan tradisi bakar batu.

Makanan kemudian dibagikan kepada kepada seluruh peserta yang hadir secara adil. Selanjutnya, semua akan menerima alokasi yang sama, pria, wanita, orang tua, dan anak-anak. Setelah itu, penduduk kemudian mulai memakan makanan ini.

Tradisi bakar selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh warga suku Amungme dan suku pegunungan Papua lainnya. Untuk merayakan tradisi ini, mereka rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai pesta dan para warga rela tidak bekerja selama berhari-hari.

Saat ini, ritus bakar batu telah berkembang. Tidak lagi hanya dilakukan sebagai bentuk syukur perayaan kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku, mempersiapkan prajurit perang, dan pemulihan konflik peperangan, atau kesedihan karena kematian. Ritus bakar batu juga telah menjadi sistem sosial penyambutan tamu-tamu besar yang berkunjung ke Papua, peringatan hari libur keagamaan, pembangunan rumah ibadah, keselamatan dan syukur yang melibatkan banyak orang.

Jika ingin menyaksikan pesta bakar batu ini, Anda tidak dipungut biaya apa pun. Namun, jika pesta bakar batu untuk upacara kematian, sebaiknya Anda membawa buah tangan untuk warga.***