Word: Ayu Arman
Jika paras surgawi semacam puzzle yang terserak-serak di bumi, maka sepotong puzzle itu terhampar di Jailolo. Daratan yang terletak di sebelah barat pantai pulau Halmahera itu selalu memanggil kerinduan asali dan menerbitkan kekaguman.
Di lekuk dan ceruk teluk itu berdiam jojaru (putri) Halmahera. Secara historis, Jailolo yang kerap ditulis ‘Gilolo’ dalam manuskrip Eropa merupakan salah satu kerajaan tua di Maluku dan disematkan pada satu ekosistem suku bangsa. Bukalah buku “A New Voyage Round The World” (1697) yang ditulis William
Dampier. Di lembar monografi itu kita bisa menemukan foto sesosok tubuh dipenuhi tato dan disebut-sebut penduduk asli dari Jailolo. Dampier adalah pelaut Inggris yang mengunjungi Laut Selatan dan Hindia Timur dalam kelana mengitari bulatan bumi dan mencari kawasan ekonomi-baru.
Sosok bertato dalam foto itu, sebagaimana dijelaskan Dampier, adalah Pangeran Giolo. Ia dibawa serta Dampier saat jung yang mereka tumpangi kembali ke Inggris. Karena tubuh penuh tato itulah, Sang Pangeran dikenal warga di kota London sebagai Painted Prince. Sekaligus kehadirannya memberi inspirasi baru hidupnya seni tato.
Tapi bukan soal tato yang kemudian menarik Eropa berlomba menaklukan dua samudera menuju Halmahera, menuju Maluku, menuju Negeri di Bawah Pelangi.
Di perut Jailolo bertabur tanah subur berbatu yang senantiasa dikabuti udara pengunungan, angin laut, dan matahari serta hujan tropis. Di tanah seperti itulah tumbuh pala, cengkeh, jagung, padi, singkong, bunga rosela, rambutan, lansat, duku, durian, pepaya, mangga, pisang, nangka, jeruk besar dan kecil, ribuan kelapa, dan pepohonan tanpa nama.
Oleh karena itu, sebelum bangsa Eropa membuang sauh di teluk, Jailolo menjadi lumbung pangan bagi Kerajaan Jailolo di Halmahera. Posisi strategis ini yang menjadi musabab Jailolo diperebutkan beberapa kesultanan di Maluku Utara. Dan tentu saja bangsa Portugis dan Belanda. Persekutuan Kesultanan Ternate dan Belanda pada 1551 membuat Jailolo takluk.
Dua abad kemudian, tepatnya 1798 M, Kesultanan Jailolo didirikan kembali Sultan Tidore. Ia berhasil mengusir Belanda dari Jailolo dan memproklamasikan diri menjadi Sultan Jailolo. Pusat kesultanan baru Jailolo ini berdiri di sebuah perbukitan yang terletak di persimpangan Jalan Sahu-Sidangoli.
Seiring zaman, jejak dan puing istana ini tak pernah ditemukan. Rekam jejak itu hanya bisa dijumpai hidup dalam manuskrip sejarah, pengisahan, dan ritus upacara suku-suku, seperti Sahu, Tabaru, Gamkonoro, Ternate, Wayoli, dan Loloda.Suku Sahu dan Tabaru merupakan dua suku terbesar di Jailolo. Keduanya sama-sama memiliki pemimpin adat.
Meski berbeda dalam ritus adat, kedua suku ini memiliki cara pandang yang sama bahwa manusia tak bisa hidup tanpa manusia lain. Manusia mesti ada karena kehadiranorang lain. Suatu suku ada karena topangan suku yang lain. Desa yang satu bisa maju karena adanya desa yang lain.Itulah gotong-royong. Bekerja bersama-sama dengan kesadaran (gotong)dan dilambari tanggung jawab menjaga gerak harmoni (royong). Warisan itu yang disumbang suku suhu dalam dialog-dialog nilai bersama dengan suku Wayoli, Gamkonora, Tabaru, Loloda, Gorap dan Jailolo. Dengan nilai ksatria keprajuritan, suku-suku itu saling menyumbang potensi dalam merawat kehidupan bersama di Jailolo.
Selain merawat nilai gotong-royong, suku-suku yang hidup di Jailolo mencipta panggung bersama bernama ritus upacara dan pesta makan bersama di rumah adat mereka sembari menari dan menyanyi bersama.
Jika tari adalah gerak, kedinamisan, maka menyanyi adalah harmoni. Secara umum Maluku Utara, termasuk di dalamnya putra putri Halmahera Barat, dalam sejarah tari di Indonesia, adalah penyumbang tari nasional pertama di era Sukarno.
Terkhusus di Jailolo, tari persahabatan yang terwariskan adalah legu salai. Tari perlambang doa dan syukur ini adalah wicara suku Sahu untuk memulai menanam dan selebrasi panen pelbagai komoditas utama seperti pala, cengkeh, kopra yang membuat Halmahera begitu tersohor sebagai Pulau Rempah abad 17.
Tari persahabatan, warisan gotong-royong di Jailolo itulah yang diuji ketika Ternate- Maluku Utara disapu kerusuhan hebat di peralihan abad, 1999-2000. Pulau Maluku Utara terkoyak, masyarakat bercerai berai, dan semua sendi harmoni pecah berantakan.
Dipandu amarah dan dendam, warga basudara di Ambon, Tual, Tobelo, Namlea, Haruku, Halmahera itu terlibat dalam drama kolosal kekerasan, saling membakar, saling membunuh tanpa tahu betul akar musababnya. Ekonomi lumpuh, pranata sosial beku, dan instrumen politik macet.
Dari serangkaian kisah pilu itu, ikhtiar rekonsiliasi antara Muslim dan Kristiani dirajut seinci demi seinci yang melibatkan unsur masyarakat dan pemerintah. Perjanjian Malino yang diinisiasi pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menjadi tonggak damai di Maluku dan Maluku Utara.
Jailolo yang sewaktu kerusuhan meletus masih merupakan kecamatan dari Kabupaten Maluku Utara menjadi kawasan yang paling cepat dalam memulihkan kerenggangan akibat konflik antar pemeluk agama. Paling tidak, secara kultural, Jailolo membutuhkan enam purnama mencairkan kembali kehidupan warga menjadi satu ikatan bersama bahwa mereka berbeda tetapi tetap satu.
Selain rekonsiliasi berbasis kultural, jalan damai berbasis struktural pun diambil untuk mempercepat pemulihan infrastruktur yang berubah menjadi puing-puing dan memutus rantai kecemburuan pembangunan yang timpang.
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengeluarkan beleid Nomor 26 Tahun 2003 tentang pemekaran empat kabupaten/ kota di Maluku Utara. Sehingga ibukota Kabupaten Maluku Utara yang terletak di Ternate dipindah ke Jailolo dan menjadi Kabupaten Halmahera Barat.
Kini, Jailolo menjadi kota bahari yang ramai sejak Festival Teluk Jailolo dihidupkan pada 2009. Di bawah kepemimpinan Ir Namto Hui Roba Halmahera Barat terus berbenah diri, merajut kembali keragaman yang “pernah” tersapu badai kerusuhan ketika bangsa ini bersiap diri memasuki alaf ketiga.
Sekaligus juga kedua pemimpin ini dengan kerja keras dan kesabarannya menyusun kembali batu bata kejayaan Jailolo sebagai pusat lumbung pangan masyarakat Maluku Utara lewat jalan kebudayaan dengan memanggungkan kembali warisan budaya dan ingatan kolektif dari mana leluhur mereka meletakkan ritus tata hidup mula-mula.
Panggung warisan dan ingatan kebudayaan Halmahera itulah oleh Ir Namto H Roba direalisasikan dalam bentuk Festival Teluk Jailolo (FTJ). Dipilihnya festival sebagai jalan kebudayaan yang mempertemukan keragaman dalam dialog karena dalam festival tua-muda, pemerintah kawula, laki-perempuan, penonton-penampil berada dalam ruang yang sama dan waktu publik yang sama pula.
Oleh karena kekhasan itulah festival kerap disebut sebagai ritus kontemporer yang merepresentasikan egalitarianisme. Jika pemilihan umum adalah representasi demokrasi politik, maka festival merepresentasikan demokrasi budaya.
Demokrasi politik melahirkan pemimpin; demokrasi budaya melahirkan masyarakat baru yang egaliter dan percaya bahwa perbedaan bisa diselesaikan dengan dialog. Yang kemudian menjadi pembeda adalah Festival Teluk Jailolo (FTJ) bukan sekadar peristiwa kebudayaan biasa untuk semata pariwisata.
FTJ adalah jalan perdamaian di mana ketahanan kultural menjadi elemen terpentingnya. FTJ bukan saja benteng preservasi cultural knowledge ethnoscience, tapi juga pahatan jiwa-baru bagi masyarakat di lingkupHalmahera Barat maupun Maluku Utara. Bahkan, Indonesia Raya